Cangkang

Oleh M. Irfan Hidayatullah

            Cangkang takjauh dari kita, bahkan ada dalam diri kita, dan itu susah membacanya. Ya, cangkang ada pada setiap eksistensi kehidupan. Aku yang berkulit juga sama denganmu dan sama dengan kucing tetangga yang berbulu lebat itu. Atau, mie rebus yang kukonsumsi dan mobil yang kukendarai semua tercangkangi. Namun, ada cangkang yang cepat terbuka dan isinya terhabisi dan ada cangkang yang sulit terlepas dan selalu diupayakan jangan sampai terkelupas.

Semua adalah tampakan dari sebuah keberadaan sesuatu. Mereka membungkus rapi sebuah eksistensi dalaman. Ada yang berusaha untuk ditutupi oleh keberadaan cangkang. Karenanya, ada fungsi yang sangat strategis dari sebuah cangkang; menutupi. Takpeduli yang ditutupi itu merupakan sesuatu yang berharga atau sebaliknya. Singkatnya, cangkang adalah sebuah tabir dari misteri dalaman. Karenanya, ia bisa jadi memiliki fungsi memanipulasi. Seseorang, aku atau kamu, kadang terjebak pada perdebatan atas sebuah masalah padahal kita baru melihat cangkangnya saja. Kadang kita pura-pura mengetahui dalamannya, padahal kita hanya menafsirkan saja. Sesuatu yang nisbi dan multiperspektif. Di sinilah titik lemah kita; ketidaktahuan.

Memang cangkang yang mudah terkelupas akan dengan cepat diketahui dalamnya, tetapi jangan salah, setelah itu ada cangkang berikutnya. Begitu seterusnya. Mereka adalah cangkang-cangkang imajiner yang lebih manipulatif. Seorang laki-laki yang tertarik pada perempuan dari tampilannya, dari pakaiannya, dari fesyen yang diikuti dan digandrunginya, setelah semua itu terlucuti maka ada cangkang berikutnya berupa kulit dan atau tubuh serta mitos perangai yang menempel di sana. Sama halnya dengan seorang anak yang terpesona dengan sebuah makanan kemasan, misalnya mie keremes, setelah anak tersebut melucuti cangkangnya, ia kemudian terpesona dengan mitos rasa yang akan dicecapnya. Padahal rasa adalah cangkang berikutnya agar setiap kandungan yang terdapat pada makanan tersebut terkonsumsi dengan tuntas dan produk itu laku akhirnya. Enak? Tentu saja! Tapi acap kali sang anak takmau tahu bahwa rasa enak itu memanipulasinya dari sebuah eksistensi destruktif bagi kesehatan tubuh dan atau jiwanya.

Cangkang-cangkang imajiner adalah mitos[1]. Dan di sanalah berbagai kepentingan dikomodifikasi. Yang cantik luarnya belum tentu menjanjikan cantik dalamnya, begitu pun sebaliknya. Namun, sebuah perjuangan serius tampaknya akan terus diupayakan untuk mempercantik berbagai lapis luaran agar dalaman yang jelek, keropos, bobrok itu bisa ditutupi. Lalu kapan seseorang akan tahu bahwa ia (akan) termanipulasi cangkang berlapis itu? Saat ia taktergesa menyimpulkan tentu saja. Dan ini takmudah. Apalagi ketika segala sesuatu yang bersifat cangkang itu kemudian diiklankan sehingga melelerkan hasrat kita untuk segera, segera, dan segera mengonsumsi dan menghabiskannya.

Ya, menurutku, ketaktergesaan adalah sifat yang kontramitos. Sebuah upaya demitologisasi muncul saat seseroang telaten dalam memahami sesuatu sebelum ia bersentuhan, memiliki, dan mengonsumsinya. Pada titik inilah pentingnya sebuah pengetahuan, sebuah ilmu. Karenanya, godaan untuk telaten memahami begitu besarnya. Berbagai hal menjadi sangat menarik untuk dijajaki sehingga seseorang terbelokkan dari jalan paham yang sedang ditempuhnya. Wallahu a’lam.

 

Derwati, 13 Agustus 2016

[1] Tentang Mitos, saya meneruskan apa yang digagas oleh Roland Barthes dalam tulisannya Myth Today (1956)


Comments

One response to “CANGKANG”

  1. apa manfaat dari cangkang ini?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *