Perjalanan yang Bulan
(1997-2007)
Sajak-Sajak
Irfan Hidayatullah
Khusuf
Bulan perlahan-lahan
Mencair
Mengalir dalam benak-benak
Penuh mimpi
;abad ini
September 1997
Hutan Kita Terbakar
Hutan kita terbakar angan
Asapnya membumbung
Menutupi langit cita-cita
Dan jelaga
Bergayut
Di gedung-gedung bertingkat
Bangga hati
Hutan kita terbakar angan
Karna api mimpi
Takkan mati
Hingga hujan janji
Terjadi
September 1997
Kehidupan I
Retak-retak dinding rumah kita
Telah kutambal dengan
Uang dua puluh ribuan
18 Sep. 1997
Global
Bumi bulat
Seperti jeruk purut
Tergeletak di talenan
Di samping pisau berkarat.
18 Sep. 1997
Rasa
Rasa ini,
Itu, dan sekian kesibukan
Hati
Terbukti:
“Aku resah dan ingin pecah!”
lalu menjadi
naskah, nyanyian, dan bangku perkuliahan.
April 1997
Rindu
Kenyataan yang menggumpal
menyesak di dada
adalah isyarat suatu kelahiran bagi
mawar dengan duri-duri
matahari
Juni 1998
Fana Itu
Bunga matahari
terbakar matari
Juni 1998
Siap-siap tukmati
Layon itu
tergantung pada ranting
kering
Juni 1998
Negeri doa
Negeri kita
Negeri penuh doa
yang melayang taktentu pijak
Negeri kita
Negeri religius
Negeri ritual pengharapan
Negeri dinamis mengemis
Negeri kita
Menunggu uluran
dari para dermawan keoptimisan
Negeri kita
Negeri kotak hitam
Di dunia gelap malam
Feb. ’99
Mati yang hidup
Sempat terpikir
olehku tentang mati itu
Ya, Allah
namun rasaku mati
Sempat terbersit
pada pikirku tentang mati itu
Ya, Allah
tapi pikirku mati
Aku merasa hidup, dan
Aku memikirkan hidup
Terus, terus, dan menerus
Dengan kesadaran yang takpernah
Mati
Februari ’99
Wajah ibu di negeriku
Wajah ibu
Terjelma pada
Cuaca negeriku
Namun
Tanpa doa
Tanpa kasih sayang
Wajah ibu
Terjelma pada
Cuaca negeriku
Menelan-nelan usia
Menanti-nanti balas jasa
Dari anak-anaknya.
Februari 1999
Sebuah mahar
Ada mahar itu
pada senyum matahari
dan kepakan sayap angan
untuk menyentuh keindahan
pada bunga mekar berseri
engkau berayun-ayun pada
dawai yang melantunkan lagu
cinta suci ikatan perkawinan
; kini terbukalah garba
Maret ’99
Menikah
Bu, tidakkah
Keinginan ini sempurna
Seperti doamu di altar “janari”
Bu, tidakkah
Kedewasaan itu menjelma
Seperti harapanmu pada janji
Anakmu siap menikah
Dengan sepi dan anyaman suci
Keikhlasan diri
Ya, Bu?
Maret ’99
Catatan kecil sebuah perjalanan
Aku menunggu kedewasaan ranum
ketika sebuah pohon berbuah dan indah
maka saat adanya kekecewaan
tuntaslah semuanya oleh keindahan
dan keterpesonaan
Aku telah mencicipinya dalam angan
dan aku akan memetiknya seperti adam
dan turunlah semuanya pada kenyataan
aku mohon jangan kau katakan
aku belum dewasa.
maret ’99
Katakan
Katakan pada Allah
Kita ikhlas
Apapun terjadi
Semua kan teralami
Dan aku ini
Bukan mimpi bagimu
Dan dirimu
Bukan misteri bagiku
Katakan pada Allah
Kita ikhlas
Apapun terjadi
Perahu-perahu telah siap melaut
Dan fajar kan kita singsing
Di tengah samudra
Aku dan kamu
Menjadi ikan di sana
Maret 1999
Catatan I
Maka hari ini
Semuanya bangkit
termasuk aku
Nisan-nisan itu telah
terinjak-injak
dan tertimpa bangunan-bangunan
yang kemudian menjadi kota
anak-anak main ayunan,
mobil-mobilan, petak umpet
dan bunuh-bunuhan
di langit warna-warni
di bumi takada yang mati
Semua hingar-bingar
dan saling menghargai
sampai suatu detik semua bermimpi
tentang sebuah kebahagiaan
yang ngeri dan misteri
Maret ’99
Catatan II
Bulan tadi malam
Kusunting dengan mahar
;cincin besi
lalu kukabarkan pada matahari
“Aku takkan hadir lagi pada siang.”
Ombak di lautan menyambut
Gemuruh bagai lantunan kegembiraan
Sebuah rebana bagi kenikmatan
dan nyiur bagai ilalang
Bergoyang-goyang di layar malam
Lewat sinar rembulan.
Aku terpekur dini hari
Aku dan bulan jadi kita
Memohon ampunan pada-Nya
Sebentar lagi tiba malapetaka
Sebuah api cemburu membentur-bentur waktu
April ’99
Sebuah sekat di lantai empat
Perjalanan menuju istirah di sebuah tempat tersekat kain-kain transparan terlihat dari awan-awan. Hamparan rumah bergenting merah terlihat lewat jendela bertirai sutra. Di sana ada kepala-kepala bagai kelapa bergelindingan ditendang-tendang waktu, takada jerit takada keluh. Hanya ada gumaman dan senyum-senyum yang berbunyi, nyaring.
Hotel santika Cirebon
30 April ’99
Senyum mendaun
Senyum-senyum dan keramahan
kutemukan telah menjadi daun kering
di pemakaman.
kau seperti melihatku kecewa
atas hal itu, lalu pergi hinggap
pada batang rindu yang lainnya
Biarkan saja semua membatu
toh, angin kan datang sore nanti
kau takkan mimpi lagi.
April ’99, palasari
Sesaat sebelum perjalanan 3
(nota sebuah pernikahan)
Barang-barang telah kukemasi
termasuk cinta telah kukantongi
Bukankah kita telah siap pergi?
Membuat sebuah skenario
pada perjalanan seperti
keprihatinan ambon, sambas, atau Ciamis
Ah…kita terlalu mengada-ada
Sebuah kelepak sayap kelelawar lewat
di atas kepala begitu cepat
; kita berada di dalam gua
2-3 Mei ’99
Sesaat sebelum perjalanan 2
(nota sebuah pernikahan)
Kuumumkan perjalanan kita
Semua orang berkerumun
hingga perbekalan kita terinjak,
terlindas, dan musnah
; mereka membawanya
kita saling pandang
bisu
memasuki kereta itu.
Jtn, C1, ’99
Sesaat sebelum perjalanan
Aku selalu lupa
pada sesuatu sebelum mencapai pintu
dan keluar mencari sesuatu
aku kembali dan kembali
mengambil ingatan pada setiap yang kulupa.
aku menumpang pada waktu untuk menjadi
dewasa dan pelupa
selalu mimpi aku menepati janji pada setiap
agenda setting televisi
Ah! Perjalanan akan kehilangan makna seperti
sebuah awan pada pagi yang kabut
karena aku lupa akan bertemu denganmu
tak menempel pada ingatanku sama sekali
aku tak bisa mengukirnya terus terang.
Maafkan aku!
Eh, lihat kereta mau berangkat
biarkan saja apa yang kita lupa asal tak
tertinggal, sudah cukup bagiku.
Mei 1999
Kukawinkan niat pada langkah
Langkah kumulai
Injakanku tepat pada batu-batu
yang tersusun rapi di pelataran rumah-
rumah di desa senja
Jendela taktepat menghadap mentari
tapi sinar yang kudapat lebih hangat
; dari wajahnya yang sempurna
sederhana
aku berbisik
mengawinkan niat pada langkah
sebuah pagi, siang, dan malam akan kusemati
dengan melati yang disebarkan pada ranjang pengantin
aku merasa bahagia
pada perjuangan
aku merasa bahagia
pada masa depan
aku merasa bahagia
menjelang ketidakbahagiaan yang mungkin.
Selopanggung, Juni ’99
Sebuah skenario
Seperti aku telah mendidih
pada tungku bumi ini
Rumahku tempayanku
yang rusuk-rusuknya mulai melepuh
rapuh seperti dahan kerontang
Jalan-jalan hampir sempurna
berfatamorgana menyajikan
film-film nyata kebohongan
para pejuang-pejuang kedudukan
yang bergaul dengan asap-asap rokok
di ruang-ruang ber- AC tak berpentilasi
dan jadilah sebuah skenario
pembakaran
1999
Bercanda di suatu pagi
Aha!
Aku jadi badut
bagi kerinduanmu yang sakral itu
aku ingin Patch Adam
hadir pada mimpi-mimpimu
dan membuatmu tertawa di pagi
Ingat! Aku selalu jilati MTV
seperti Campina
dan kau haus akan kekhusyukan
Entahlah, kita terdistorsi
pada kemapanan zaman yang begitu dewasa
memuakkan
dan aku rajin beli koran untuk sekedar
menanamkan kebiasaan membeli
bukan membaca
tapi pagi ini kau sangat cantik
becermin dan tersenyum
Aku merengkuhmu dari belakang
aku lucu, katamu.
Cemara, 1999
Kesempatan di penghujung malam
Aku ini
telah mimpi mengitari dunia
dengan perahu
Aku ini
melihat hamparan air tak berbatas
tanpa ombak tanpa gelombang
hanya horison yang berwarna ceria
menyambut wajahku yang serba pagi
Aku ini
berada pada ketakjemuan memohon
agar keindahan menjelma tanpa pamrih bencana
agar ketenangan hadir tanpa kedudukan yang melanda
sudut cita-cita
Aku ini
telah mimpi mengitari dunia
dengan perahu
menyusuri nikmat-Nya
-tak berbatas
Cemara, 1999
Permintaan
Permintaan di hampir pagi
Menetes pada kalbu menjadi khusyuk
Aku takusah merengek, mungkin
Karna Kau Maha Memberi
Tapi aku tak kuat untuk tak menjura
Memuja-muja semangat zaman
Yang sempurna takberdaya
Hingga hadir pada kegelisahan berbentuk
Rindu pada ibu yang memiliki garba, mulia
Ah, semoga hari-hariku
Menjadi favorit bagi burung-burung keikhlasan
Yang bertengger pada benak dan kalbu
Takmau beranjak
Cemara, 1999
Retrosfeksi
Mengingat situasi saat ini
perasaanku telah mendebu
tertiup angin dan menempel
pada dinding, kaca jendela, pintu,
dan alat-alat memasak
sungguh semua begitu merenik dalam sebuah
wacana
hingga setiap orang mencari kamus-kamus
di balik hati nurani
yang termanipulasi oleh
rezim mimpi setiap masa tidur tiba
Mengingat situasi saat ini
pikiranku telah meleleh, mencair
dan bergerak cepat menuju tempat rendah
serendah-rendahnya
hingga bisa tergenang dan menjadi cermin
bagi dunia lain.
C.8, 1999
Beranjak dewasa kala pagi menjelma
Sementara kemiskinan-kemiskinan dilokalisasikan
gemuruh hura-hura itu dikemas dalam
kotak-kotak seperti kardus yang berukuran besar
alam berontak dengan geliatnya yang dahsyat
: hanya geliatnya saja
Gempalah otak-otak manusia
terombang-ambing, muncrat pada dinding-
dinding kepala
menyebabkan semua orang gila
gila di mana-mana
Satu-satu akhirnya musim berlalu
Silih berganti
Panas dingin
Bersih kering
Mimpi kenyataan
Melebur pada sorot mata pertama
di setiap pagi menjelma
Agustus 1999
Jajak Pendapat
Coba saja jika setiap orang bebas memuncrat-
muncrat air liurnya
untuk membuat sebuah danau janji-janji
akan jadilah kita memikirkan teknologi
agar aman dari banjir yang jiji
maka kematian akan terhindari
atau kepenasaran musnah sebelum mati
dan orang-orang kini begitu mandiri
memerintah diri sendiri dan saling beroposisi
lalu state pun menjadi seperti kecil sekali
dunia sebesar kelereng yang dicentangkan
ke kelereng yang lain takpecah-pecah
orang-orang kaya tertawa-tawa hingga
menangiskan kebahagiaan itu
Oh, adakah negeri sejati seperti kenyataan
ini
Aku berangan dalam mimpi.
Agustus 1999
Ibu pertiwi
Ratusan kali seorang anak
Merengek pada ibu pertiwi
Perhari
Minta diberi kemampuan membaca diri
Ribuan kali seorang pemuda
Demonstrasi pada ibu pertiwi
Perhari
Minta diberi wewenang untuk bebas berdiri
Jutaan kali seorang tua
Meminta dengan amat sangat pada ibu pertiwi
Perhari
Agar menyelamatkan generasi
Menjelang kematian mendekati
Ibu pertiwi bersedih hati
Air matanya berlinang
Mas intan yang tergenang.
Agustus ’99
Perjalanan yang Tercatat pada Inkubator sebuah Ide
“Eratkan peganganmu pada tanganku, Istriku.
Kau siap melahirkan generasi dengan keikhlasan.
Ambil nafas serta berdoa pada-Nya, Istriku.
Kau siap meninggalkan prasasti pada malam yang hampir sudah.”
Aku perhatikan semuanya
seperti alur sebuah pertandingan sepakbola
Aku merasa lebur pada keterjagaan yang kekal
karna kekhawatiran itu takjua beranjak
“Ingatkah kau, istriku
Kita takpernah bermimpi dalam bercita-cita
Tlah kita siapkan dunia kecil bagi sikecil
Baju-baju kecil, celana-celana kecil, box kecil,
Dan boneka tangan.”
”Eratkan peganganmu pada tanganku, Istriku
Sebentar lagi semuanya lewat
Azan subuh berkumandang
Perjuanganmu tercatat pada dinding-dinding bagai grafiti
Takterhapus tanpa kesan
Ungkapkan, ungkapkan, ungkapkan kebahagiaan
Dalam doa yang merengek-rengek”
4-26 April 2000
Kasih Sayang Itu
Kasih sayang itu
seperti materi, katamu
terungkapkan dalam simbol duniawi
pada televisi, pada lemari es yang membekukan hati
Kasih sayang itu
seperti pelangi, katamu
terungkapkan pada simbol warna-warni
hadir setelah sebuah kebasahkuyupan dunia
Aku yang berdiri tegak pada sisi sekali kehidupan
memintamu membaca Ahmad Tohari
merengek padamu dengan Afrizal Malna
berdebat denganmu lewat Derrida
hingga kau mengangguk mengiyakan waktu yang berjamur
menjemukan
Kasih sayang itu
seperti waktu ini katamu
terjadi tanpa kompromi
yang bukan sekadar cita-cita atau mimpi
tapi menjelang takada takmempunyai tempat lagi
sedetik berikutnya
Kasih sayang itu
seperti sejarah
yang dipelajari dan berkata-kata sendiri
Cemara, 2000
Cinta takterkata
Biarkan rengekan itu kekal
pada malam yang penuh pahatan doa
dia betul-betul suci, takdosa
hanya inginkan kasih sayang
dari rasa bahagia yang kadang datang
takpeduli
Biarkan rengekan itu kekal
pada malam yang penuh pahatan doa
aku bapak kau ibu
kita dengar saja cintanya
yang takterkata
Cemara, 2000
Karna Ketulusan Cinta
Karna ketulusan cinta
Sesama manusia tega saling membiarkan
Karna kesalingpercayaan
Sesama kita tega taksaling mengingatkan
Cinta kita tlah lebur pada kantong-kantong individu sekali
Takada ruang-ruang luas yang berjejalan peduli
Semua meraba saku celana dari sebuah kekhawatiran kehilangan
Semua menjaga kehalusan dan ketakalamian warna kulit dari sebuah kenyataan hitamnya kehidupan penuh peluh
Cinta tlah memikat ketidakcintaan menjadi nyata
Saat takada cinta di atas kata cinta
(Saat kau merenung saja
Aku jadi sedih.)
Cemara, 2000
Cinta Pagi
Matahari itu muncul lagi, Izzati
Mengajak bercanda
Kau gapai-gapaikan tanganmu meraihnya
Kau genggam sinarnya
Dan pagi pun menjelma
Sebuah kehangatan cinta
, dan debu siap berangkat kerja
Cemara, 2000
Mengingat- ingat Ingatan
Lampu telah termatikan suasana
Pagi telah malam pada secangkir kopi panas
Kita belum bangunkan kesadaran pada jarum jam dinding
dan bunyi-bunyian mainan
Matari telah hadir memanggil-manggil kata
untuk sebuah haiku pagi ini
Kau-aku dan bayi kita berdiskusi
di meja makan yang diformat
seperti panel
Kehidupan berkedip tersilaukan
Sebuah mimpi yang dikerat-kerat
angan
Kita obral obrolan-obrolan sambil memamah
Masa depan.
2000
Aku Tlah Tragedi
Kepercayaan hampir punah
pada hari ini dengan segala kekerasannya
karna aku terlibat kekecewaan yang mendalam
seperti mimpi saja
Aku tlah tragedi menguap jadi berita dan isu-isu
Kudeta, PKI, militansi kanan, dan minyak yang raib
dan aku tak bisa apa-apa seperti genangan air saja
Aku menjadi sumber penyakit bagi diriku sendiri
frustrasi yang berlebihan, memang
Pagi hadir seperti biasa
Umurku tanggal bagai daun
Luruh, lapuk di tanah kefanaan.
Cemara, 2000
Seharusnya Hari Ini tak Ada
Seharusnya hari ini tak ada
Tak ada cerita lagi tentang kepulan asap
Kepulan asap para korban terik nafsu
yang matahari yang menembus batas
Tidakkah aku tlah sadar pada kemiskinan yang tak punya
kesempatan seperti kekejian yang tlah kaya
Sungguh ini suatu pengalaman pengharapan
yang biasa-biasa saja
Cemara, 2000
Kamar bagi Segala Pengharapan
Detak nadi detak jam dinding detak hari-hari tanpa sekat
Berhimpit-himpit keinginan menemui ruang-ruang imajinatif seperti
Sejarah
Kata-kata tlah muncul pada eongan kucing decakan cecak dan dengkuran tidur
Aku diam seperti pualam
Detak nadi detak jam dinding detak hari-hari tanpa sekat
Mencari ruang pada gelombang masa yang membakar
Membakar dan membakar
Cemara, 2000
Cintakah Kau Padamu?
Berkaca bagai narcissus
Bergumam pada setiap kerinduan purba
Kematian mendesak cinta agar terucap
Cemara, 2000
Semacam inikah Penantian
-Izzati
Semacam inikah penantian
Kau terbaring sakit
Aku berjamur dalam doa
Hari-hari kita semacam berbeda
Doa-doa kita melepuh pada kejenuhan cuaca
Keinginan telah menyatu dengan alur waktu
Yang meta
Ya, kesombongan-kesombongan ini
Tak berlaku
Kita di tempat yang penuh kepasifan
Kita wayang yang selalu bermain rasa
Bersabar, bersabar, dan ber
Sabar mencari alternatif suasana
Pengisi waktu
Oh, semacam inikah penantian
Semacam dunia baru yang mengingatkan
; kehidupan kita selalu terlenakan.
RSHS, 2001
Ketika Izzati Sakit
Maafkan aku Izzati
Tak memberimu keleluasaan itu
Hidup memang selalu pahit
Jika benar-benar kita cicipi
Senyummu yang sirna itu
Sebentuk penyesalan bagiku
Tak seberuntung kemewahan rasa
Yang berlalu-lalang itu.
Eh, bukankah kau ingin jadi
Dokter
Ya, semacam inilah penantiannya
Sakitmu cita-citamu
Kau harus kuat
Maafkan aku Izzati
Aku hampir tak sehat
Dengan ucapanku ini.
RSHS, 2001
Aku Sebagai Komoditas
Hakku untuk merasa
Terkucilkan saat aku punya lingkungan
Ya, lingkungan yang menjadikanku
Kebutuhan seperti makan
-aku sebagai komoditas-
hakku untuk merasa
terinjak saat aku punya kerinduan
harum seperti bunga sebuah taman
tergetar, terkoyak, malayang-layang
ke tanah
hakku untuk mencoba
berontak pada setiap
ketidakadilan.
RSHS, 2001
Negeri Kita
Negeri kita
Penuh cita-cita
Seperti seorang anak ketika ditanya
“Mau jadi apa kau nanti?”
Negeri kita
Penuh cita-cita
Menggantung-gantung di awan tinggi
Mengatapi manusia-manusianya
Yang masih bayi yang perlu asi
Yang harus selalu rutin diimunisasi.
RSHS, 2001
Pada Negeri Dirimu
Lengkingkan inginmu
Pada negeri dirimu
Kau kan tak jua sampai
Pada keadilan itu
Egomu memimpinmu
Pemimpinmu
Kau terpekur pada ingin
Seperti rindu
Seperti sangat berjarak
Seperti tak mungkin
Kau dan dirimu telah
Terpecah belah
Kau bermimpi
Menjadi dirimu.
RSHS, 1 Syawal 1422 H.
Interlude
Masuklah pada cahayaku
Bisik bulan
Saat aku tersadar betapa malam
Perasaanku. Terutama pada-Mu.
Aku perindu sebenarnya, tapi
Kadang kehilangan rasa cinta
Angin berhembus. Dingin
Malam semakin larut, dan aku
Diam di bangku itu
Pada bulan aku menatap
Pada-Mu aku tak tentu
“Masuklah pada cahayaku,”
bisik bulan.
2002
Merdu
Alicia k.
denting pianomu
mematahkan jari-jarimu sendiri
nada bergulat
pita suaramu meliuk seperti ular
yang menjelma angin, bersama kupu-kupu
menelusup pada setiap gua sepi.
Adakah keindahan itu
menjadi harmonis
atau teror?
Seperti pada negaramu yang terpecah
yang ketakutan
yang terjajah oleh kemapanan
kemerduan
Suaramu memang merdu
Uh!
2002
Tentang cerita
Serangkaian cerita mencerabut imajinasiku
Aku yang tengah menyelesaikan kematian
Tinggal di lekuk kebingungan yang begitu kelam
Aku meremas kembali kertas-demi kertas yang terpercik kata-kata
Aku menuangkan kembali anggur-anggur dunia pada setiap kesempatan berpikir
Hingga mabuk menjadikanku tak menguasai diriku
Lalu aku mencoret-coretkan segalanya pada apa saja
Sendok pada piring kuas pada tembok kaki pada lantai pena pada kertas
Dan semuanya selesai
Sebuah cerita tentang aku yang menunggu kematian
Tapi cerita-cerita itu seperti mencerabut imajinasiku, cerita
Pada tivi pada vcd pada novel pada cerpen pada babad pada kakawin pada syair
2002
Sudahlah!
Biarkan keinginanmu untuk menjadi penulis
Kau tanggalkan saja penamu
Kau cari apa saja untuk modal usaha
Dan biarkan saja keinginanmu menjadi penulis
Terenggut waktu yang memutar-mutar
Sudahlah
Biarkan saja cemburumu pada Pram, Tohari, Sapardi, Mochtar Lubis, NH. Dini, Ayu Utami
Dan siapa pun yang pernah kau baca.
Sudahlah
Lebih baik mulai saat ini kau tak mencipta kehidupan
Kau jalani kehidupan dan ambil kehidupan itu
Kau injak-injak kehidupan dan ajak perintah kehidupan itu
Kau perkosa kehidupan dan campakkan kehidupan itu
Hingga kau dan kehidupan tak bisa dibedakan
Sudahlah
Segeralah mandi dan
Pergi!
2002
“Mungkin.”
Lalu setelah Robinson Crusoe terselamatkan oleh Tuhan
Dia menjadi Tuan dan Friday adalah aku yang tertembak saat aku akan hidup
Oh, betapa semua telah menjadikanku budak dengan tak sengaja
Waktu, adat istiadat, dan kematian itu, dan Tuhan
Dan akhirnya dia berbahagia selamanya
Dengan seorang wanita cantik di sebuah negara yang damai
Sambil berkata,
“Apakah aku lebih bijaksana sekarang?”
jawabnya hanya
“Mungkin.”
2002
Amnesia
Ah, hanya sekadar kesia-siaan
Yang kutumpukkan yang lalu kubakar ini
Semacam sampah dari ingatanku
Ketika aku terbenturkan kenyataan dunia
Lalu amnesia
Dan aku hanya berjalan sedikit-sedikit
Tertatih-tatih oleh derita, de-ri-ta
Saat mendengar berita, be-ri-ta
Saat, katanya, kau dan semuanya telah hilang
Menguap melampaui wujud kemanusiaan kita
Mewujud kekerasan yang hiburan dan kevulgaran yang hiburan
Dan aku yang hiburan bagimu
Oh, semuanya hanya sekadar kesia-siaan
Kenapa kalian kubelikan dunia.
Kenapa kalian kubiarkan mendapatkanku yang telah dunia
Bertahun-tahun sebelum aku kenal sebelum kalian ada
Sudahlah
Matikan tv itu
Berdoa dan tidurlah!
2002
Atau Sekadar Aku?
Sebenarnya apa sih hidup ini?
Sekadar menjalani waktukah?
Sekadar mencari sesuatukah?
Sekadar membujuk kesenangankah?
Atau sekadar aku?
Yang mengelana dari situs ke situs
Dari benda ke benda
Melukai diri semua dengan belati
Egois, atau
Sekadar puisi ini
Siang itu aku melewati
Mal-mal dengan manekin
Yang tertawa dan berasap.
2002
Sekuntum Mawar
Aku tengah merebut sekuntum
Mawar
Dari tangan hari ini
Aku mengerahkan segala kekuatan
Bahkan semua cintaku
Hingga segala rasa hilang
Pada fatamorgana
Aku mematung, menggapai-gapai
Cuaca yang seperti daun berguguran
Aku terhujan oleh kecewa yang seperti ulat-ulat
Hingga aku keropos
Tapi aku tengah merebut sekuntum
Mawar itu.
2002
Berkuasa
Kekuasaan betul-betul menjarah
hati manusia seperti sebuah perampokan
Nurani porak-poranda
Kemuliaan dirampas paksa
Kemanusiaan diambil alih
Manusia menginjak manusia
Merasa berhak atas hidup
Merasa berhak atas nafas
Merasa berhak atas berpikir
Sangat merasa berhak
Sementara
Bumi sudah tua
Dan asteroid diperkirakan akan
Menumbuknya sebentar lagi.
2002
Ruang Tunggu I
Termos, misting, camilan
Di keresek, baju kotor
Di tas besar, detik-detik
Berceceran
Menunggu kepastian
Atau menunggu kematian
RSHS Agustus 2002
Ruang Tunggu II
Mungkin inilah efisode
Hidup. Di ruang tunggu ini
Aku duduk bersama kematian.
Agustus 2002
Ruang Tunggu III
“Katanya jadi di operasi!”
“Siapa bilang?”
“Dokter.”
“lalu kita?”
“Tetap menunggu di sini.”
“Menunggu kematian?
“menunggu kepastiannya?”
“Kepastian itu kematiannya.”
“Tidak.”
“Lalu?”
“Kematian buat kita semua.”
Agustus 2002
Ruang Tunggu IV
“Sudah berapa uang kita habis
di tempat ini?” Seorang istri
berkata pada suaminya
“Tak terhitung.”
“Orang tua itu memang menyusahkan kita.”
“Huss, ngak boleh berkata seperti itu.”
“lalu?”
“masih untung kita punya orang tua.”
“Orang tuamu!” jawab sang istri.
Agustus 2002
Jobbless
Mengapa tidak
Aku berkemas hari ini
Kan kupakai kemejaku
Kan kukenakan dasiku
Kan kusetrika celanaku
Kan kusemir sepatuku
Mengapa tidak?
Aku akan keluar sebentar
Dengan senyum merekah
Mencari ruang kosong untuk
Imajinasiku
Mengapa tidak?
Setidaknya aku seperti pergi
Ke kantor
Lalu saat malam tiba
Akan kutulis segalanya
Sampai larut.
Agustus 2002
Bau Tanah pada Tubuhku
Hujan memantul pada aspal
Terlihat asap
Dan bau yang khas
Bau tanah pada tubuhku
Lalu tiba-tiba aku hilang kendali
Motorku menabrak mobil mewah
Aku terbang melewati atapnya
Lalu berdebam.
Ada darah
Dan bau tanah itu menyatu
Aku menguap jadi asap
Dan bau yang khas
Bau tanah pada tubuhku.
Agustus 2002
Aha!
Aha, aku taktakut sengsara
Silahkan saja porak-poranda
Aku taktakut berbela sungkawa
Ini hidup, Bung!
Sebuah kematian yang tertunda.
Okt. ’02
untuk Kotaku
Kini kotaku
Mengering
Lihat retak-retak tanahnya
Lihat debu-debunya
Lihat kegelisahannya
Mata hari menjadi sepuluh di sini
Satu di atas sana
Sisanya di dalam kepala
Okt. ’02
Nota Kecemasan
Aku dilanda bom ketika
Tik-taknya tak terdengar
Takada kecemasan
Hanya kematian tiba-tiba
Dan kematianku adalah
Tiktaktiktak itu dan
Arwahku detonatornya
Hingga kematian mencemaskan
Semua
Dunia dilanda bom.
Okt. ’02
Arus
Aku terlalu mengalir
Aku terlalu membiarkan
Tanah di depanku lebih rendah
Hingga tak mampu kuberpegang untuk
Diam sementara dan menggenang
Membiarkan ikan-ikan terlihat
Indah bermain
Dan para pemancing menghabiskan
Waktu.
Aku terlalu mengalir
Seperti tak pernah sempat aku punya waktu
Dan mengering
Lalu menjadi fenomena
Lalu menjadi karya
Lalu menjadi kekasih
Yang tak menguap di terik
Matari.
Okt ’02
Bom
Bom-bom berbom-bom
Dibomkan
Pada nurani
Hancurlah
Kemanusiaan.
Okt. ’02
Skenario Apalagi Wahai….
Skenario apa lagi wahai
“Kau tahu siapa?”
menghancurkan Indonesia
menggempur Irak
membenamkan Islam.
Skenario apalagi wahai
Kau tahu siapa?
Menguasai dunia
Menghisap minyak
Meneguk darah manusia
Lantas
Jadi Tuhan
Skenario apalagi wahai
Kau tahu siapa?
Kau takbisa bersembunyi dan menuduh lagi
Kini mukamu telah tergeletak
Di jalan-jalan dan terinjak-injak
Benderamu telah penuh minyak
Siap dibakar
Kau takbisa bersembunyi
Kau bahkan bukan Tuhan
Hanya merasa jadi tuan.
Okt. ’02
Puisi Cinta
Merebahkan tubuh ringkih ini
Pada duniamu
Aku menjadi awan-awan
Berarak dilatari warna biru
Kasih sayang
Kita bukan sepasang remaja pacaran
Katamu
Kita tlah berhak mengecap indah
Pelangi dan bau hangat mentari
Ya, Allah langgengkan pernikahan kami
Jodohkan kami di akhirat nanti.
Maret 2002
Lemah Manusia Lemah
Aku memang lemah
Tubuh kuatku yang membuat lemah
Aku memang lemah
Kekuasaanku yang menjadikanku lemah
Aku memang lemah
Kesombonganku yang menyihirku lemah
Kini aku duduk
Menembuspandangkan penglihatanku
Pada tanah
Setelah dosa itu larut dalam
Cangkir hati
Keruhkan nurani
Oh, Tuhan! Jangan aibkan dosa ini
Aku manusia lemah.
Maret 2002
Aku tlah Menantiku
Siang itu aku memohon pada keraguan
“Tinggalkan diriku.
Pergilah menuju awan itu
agar kegamangan tak jadi menurunkan hujan.”
Lalu, aku menunduk mencari pola ketabahan
pada daun-daun kerontang flamboyan
“Kau hancurkan dirimu pada waktunya
kau menjadi humus untuk kesuburan
kau bersatu dengan legam tanah itu
kau…
Kemudian, Aku menggeser dudukku pada kursi itu
“Aku mungkin harus tidak mapan
agar aku tak seperti kau yang lapuk
ditunggangi penantian dan janji-janji.
Ah, aku harus bergerak seperti waktu
Bukankah aku adalah waktu
Karena detik-detik berlomba dengan denyut nadi.”
Aku berdiri meninggalkan taman itu
“Harus kemana lagi aku menunggu diriku
kembali, atau aku telah menemuiku
hanya aku tidak mengetahuinya?”
Maret 2002
Bila Kau
Bila kau baca layar peristiwa
Di setiap pelupuk mata kesempatan
Kau akan berhambur meninggalkan tubuhmu
Melesat memasuki cakrawala
Tempat pelangi-pelangi ditambatkan
Bila kau tulis setiap gejala
Di sepanjang pantai penantian ajalmu
Kau akan menyaksikan kesia-siaan peristiwa
Pengagungan waktu pada titik kesombonganmu
Dan kau akan meraung-raung menyesali
Kebodohanmu
Bila kau dengar kicau gelisah hati kecilmu
Kau akan seperti di keramaian
Kau akan dikecamukkan oleh kepentingan-kepentingan
Yang tak pernah kau layani
Karena setiap senti gendang telingamu di tabuh
Oleh kenikmatan musik semasa
Bila kau diam sejenak
Menangkap sinar matahari
Keringat yang muncrat dari tubuhmu
Akan jadi mutiara.
Maret 2002
Sebuah Pilihan
Ketika aku harus memilih
Aku seperti disenyapkan oleh waktu
Pada garba masa depanku. Aku seperti tiada
Nafas dan terbakar oleh segala ketidakpastian.
Padahal hanya sekadar pilihan
Dan kau yang kemarin menunggu kepastian
Dan kau yang sekarang menanti keputusan
Dan aku yang bingung menjadi begitu tak tegas.
Aku kehilangan identitas untuk sebuah identitas
Aku melayang-layang di atas langit masa depan
Yang belum tentu kudapatkan.
Umurku mencibirku
Takdirku menartawakanku
Esokku mengolok-olokku
“Pertimbangkan apa yang harus kau pertimbangkan.”
Kata mereka tegas.
“Hilangkan dirimu dan subjektivitas itu.”
Apakah kau mau makan sekadar reputasi sambil menggorok leher sendiri.
Oh, alangkah kejamnya kamu
Oh, alangkah pahlawannya kamu.
Juli 2002
Kematian Khusyuk
Duniaku. Reputasiku
Dan gaya gravitasi itu
Menghujamkanku pada perut bumi.
Penuh dengan nestapa berbalut gemerlap kejayaan.
Bisakah aku mati sementara ketika
Menghadapmu
Tidakkah aku bisa menutup pintu duniamu sebagai jeda
Dan Kau telah bukakan pintu-Mu
Tapi tetap aku tak berpaling pada-Mu.
Dunia. Sekadar Dunia
Subjektivitas positivitas.
Juli 2002
Semedi Malam
Semedi malam pada rumputan itu
Aku menanti bulan tertusuk kerinduan
Kau begitu menyeluruh pada malam duniaku
Dan Kau begitu terfokus pada keagungan semedi malam-Mu
Hening. Embun. Angin. Dingin.
Dan aku terkurung dinding. Dunia.
Juli 2002
Harapan Surealis
Sayang aku begitu tak menangkap sinyal itu
Padahal Kau telah begitu dekat pada duniaku
Sedekat nafasku pada leher ini
Leher milik-Mu
Sayang aku begitu terampas harapan
Dunia harapan-harapan dunia
Tanpa-Mu kuhadirkan di sel-sel imajinasiku
Aku hanya diam dan mengawan
Berarak menuju sketsa cita-cita
Surealis. karena kutaktahu kebenarannya
Hanya aku begitu yakin. Dan Kau yang terhapus
Oh, harapan surealis
Harapan akan dunia yang tak teraba esoknya
Dan Kau Maha Tak Teraba yang menjadi kosmosnya.
Aku harusnya sekadar mengharapkan-Mu.
Juli 2002
Aku Terselamatkan Dari Hujan
Aku terselamatkan dari hujan saat hujan begitu deras turun di langitku sendiri. Dan Kau menciptakan hujan untuk membasahi nurani. Kau menciptakan banjir untuk menghalau kotoran hati Dan Kau menciptakan keselamatan untuk menghujani kesyukuran itu. Dan Aku terselamatkan dari hujan saat hujan begitu penuh turun dari langit-Mu. Dan Kau begitu tulus memberikan segala rizki. Dan aku yang menghindari hujan itu membasahi. Dan aku yang bodoh ini.
Biarkan hatiku tak berumah agar hujan selalu menguyupi penuh kesejukan. Biarkan kotoran-kotoran hatiku terhanyutkan banjir hujan-Mu dan aku begitu lengang berasa. Biarkan aku melihat bentangan keluasan bumi-Mu dan hijaunya tumbuhan-Mu. Runtuhkan gedung-gedung yang membatasi.
Juli 2002
Dan Kesengsaraan Kusimpan di Kulkas
Ha. Pagi ini aku belanja dengan tergesa. Kukeluarkan catatan-catatan tergesa hasil karya tangan istriku. Begitu berjejer kebutuhan itu seperti gerbong-gerbong kereta dengan satu lokomotif. Kecemasan. Aku ingat perutku. Aku ingat perut kulkasku. Aku ingat perut anak-istriku. Aku ingat segalanya. Dan aku terburu-buru menyelesaikan belanjaku.
Juli 2002
Anakku Di Taman Lalu Lintas
Ayah, biarkan aku bermain sepuasku
Dan ayah bermain sepuas ayah
Dan kita akan puas.
Lalu burung-burung itu menyerbu. Mengejar kita tanpa rambu-rambu
Bukankah taman ini penuh tata krama, tapi burung-burung itu begitu menyerbu.
Ayah, biarkan burung-burung itu menyerbu
Dan mereka akan puas.
Bangun Pagi
Bangun pagi tanpa Tuhan tanpa doa
Berlari menuju dunia kembali pada tuhan dunia
Juli 2002
Kado untuk Palestina
Betul
Aku melihat segalanya.
Ada tv-tv itu. Ada koran-koran itu
Ada majalah-majalah itu
Ada kabar-kabar itu
Betul aku melihat segalanya
Ada kekejaman itu. Ada kebengisan itu.
Ada ketidakadilan itu. Ada pemberangusan itu.
Ada penjajahan itu. Ada darah itu.
Langitku berwarna hitam setelah itu
Karena betul aku tahu segalanya
Dan aku mengorek-ngorek kegelisahan
Mencungkil-cungkil simpati, menarik-narik kemanusiaan diri
Menjambret-jambret keimanan hati
Hingga menyublimkan tubuh kekar ini
Tetapi,
Sungguh tak ada simpati, tak ada rasa haru, tak ada penyesalan, tak ada kekalutan pikiran, tak ada kegeraman, tak ada keinginan,
Keimanan tak ada
Mungkin harus kubom
Mtv itu.
Juli 2002
Bekalku hanya Ketakutan
Segera kukemasi perbekalan itu
Aku termanggu karena takada satupun
Tersisa untuk kubawa
Semua yang kutumpuk tlah imajiner
Kekayaanku menguap pada langit dunia kelam
Kejayaanku menghilang ditelan setiap kelokan perjalanan
Oh, wahai saat ini
Ada apakah dengan kemarin
Ada apakah dengan detik tadi
Tak adakah kesadaran itu mengendap
Aku tlah tercekik ajal
Aku tak bisa bernapas lagi
Aku akan terenggut gelombang waktu
Pada kekekalan yang selalu kuimajinasikan
Pada keabadian yang kerap kuimani
Hingga saat ini kumasih hampa
Yang memberatiku hanya ketakutan.
Ya, ketakutan.
2002
Lihatlah Duniaku
Lihatlah duniaku pada tubuhku pada mataku pada keningku pada otakku
Lihatlah duniaku pada senyumku pada keluhku pada berjalanku pada berlariku
Lihatlah duniaku pada ucapanku pada orasiku pada diskusiku pada kebohonganku
Lihatlah duniaku pada nyanyianku pada jeritanku pada rinduku pada sepiku
Lihatlah duniaku pada cintaku pada benciku pada nelangsaku pada gembiraku
Lihatlah duniaku
Utuh padaku
Seutuh-utuhnya
Tak sisa sedikit pun selain untuknya
Duniaku untukku aku untuk duniaku
(Pagi yang cerah aku terlambat lagi shalat subuh. Dan aku tersenyum mengawali hari ini. Hari ini pasti sukses, pikirku).
Agustus 2002
Trafick Light
Ya, aku melewati setiap persimpangan itu
Dengan motorku, dengan hatiku
Debu-debu pula yang menghinggapi setiap pori-pori kenangan
Dulu jalan-jalan ini sepi keprihatinan
Angin berlalu menyejukkan setiap penantian lampu
Hijau untuk cinta, kuning untuk kerinduan, dan merah untuk
Rasa cemburu.
Dan kini kenangan itu menajam terik mentari
Saat kaleng-kaleng itu berkelontang dihiasi tangan-tangan kurus
(atau mungkin sebaliknya) mata-mata mereka semacam mata kucing di kegelapan
tajam. Tapi ini siang.
Motorku pun berdebu. Penantian lampu menjadi membeku
Di setiap persimpangan itu.
Agustus 2002
Hariku Rombeng
Sepertinya aku tak pernah menghiasi hariku dengan kesyukuran
Keluh-kesah itu telah mendunia pada degup jantungku
Degup kehidupanku.
Jadilah hariku rombeng-rombeng
Kumuh dan jadi potret sebuah kemiskinan yang sangat
Kesempitan telah menjadi dunia
Seperti dunia pun telah menjadi sempit
Dan kemana pun aku menatap
Lautan manusia meluap seperti gelombang
Mengancam dan mengejar keberadaanku
Mungkin akan menyedotku pada pusarannya
Dan aku tenggelam
Tak pernah melihat pagi.
Agustus 2002
Kehidupan tanpa kita tuliskan
Sepertinya detik-detik berloncatan
Tak bisa kita tangkap
Waktu jadi tak menentu
Ibarat lalu lintas yang terkagetkan
Sebuah tabrakan
; serpihan kaca di mana-mana
kita terheran-heran
tiba-tiba semua usai
kita kehilangan endapan hikmah
kita keruh
: dan kita dihadapkan pada
detik-detik selanjutnya.
Mei 2002
Menulislah, dan buang keresahan itu
Menulislah
Menulis, dan buang
keresahan itu, resah itu
Tulislah itu, keresahan itu
Dan buang itu dengan menulis.
Mei 2002
Malapetaka Mengucur Darah
Bohong jika kekerasan itu
Seperti mengelus peradaban untuk
Kembali baik
Peradaban itu tlah nakal, katamu
Dan kau membawa gertakan untuk menjinakannya
Coba kau lihat dicermin angin
Dirimu telah seperti jelaga
Kekuatanmu adalah api yang menghitamkan
Dirimu sendiri
Ooh, bohong jika kekerasan itu
Seperti mengukir sejarah untuk masa depan cerah
Lihatlah dirimu sendiri yang telah
Hitam
Tercoreng
Binasa
Jurusan, 2003
Rindu
Yakin tak bisa menyimpan kata
kutorehkan saja rindu pada
sebatang pohon senyap
kutuliskan rasa nyeri
dengan mesti
malam, angin, dan sebuah jarak
Depok, 2003
Rindu II
Rerobohan tubuhku terserak
di sebuah kasur
terpatah-patah waktu
benakku bangun pada kepala
yang tergeletak
mencari tangan untuk
mengambil hati yang sunyi
tak kuasa.
Depok, 2003
Rindu III
Tak bisa hadirkan mimpi
aku inginkan kenyataan
tak ada yang lebih indah
dari rasa sakit yang terobati
kau dan anak-anakku
pulas
Depok, 2003
Rindu IV
Besok kupulang
tapi sampaikah?
Bukankah waktu siap
berkhianat
Biarkan puisi berbunyi
saat ini.
Depok, 2003
Rindu V
Lelahku menjadi cuaca
jiwaku mengembara
mencari ujudmu
yang hidup bersama angin
dan waktu
kaukah itu?
Dan daun coklat tua
jatuh di bahu.
Depok, 2003
Angin Keyakinan
Menghembus, menyibak, mengelus, menerbangkan, menelan
aku biarkan diri tanpa gravitasi
menuju pusaran mimpi
Kuyakin kan bangun nanti
kuyakin kan bangun sebuah istana juga
kuyakin koupun matikan ragu
nyalakan terang buat ruang tunggu
Lalu aku takada
berubah energi pada hati
pada kaki, pada hakiki
Kita kan bertemu
pada rumah
yang sempit tapi milik kita
Jurang, 2004
Insiden
Lihatlah dirimu
pada tubuh dunia
sendiri, menyendiri
luka menganga
Depok, 2004
Hari ini
Semakin kuyakin hari ini laut
semakin kusiapkan sauh
semakin kunanti angin
semakin kutantang gelombang
Depok, 2004
Untuk Penyair
Berjanjilah kau tak tinggalkanku
di cakrawala itu
dengan secarik puisi, berdarah
Depok, 2004
Semakin
Semakin aku beranjak semakin aku menjauh semakin aku merasakan semakin aku kehilangan semakin aku mimpi semakin aku melambung semakin aku menjadi semakin aku nol semakin aku luruh semakin aku peluh semakin aku leleh semakin aku kabut semakin aku menghalangi semakin aku kabur semakin aku jelas semakin aku takmampu semakin aku besar semakin aku takaku semakin aku kecil semakin aku lirih semakin aku tajam semakin aku mengiris semakin aku penasaran semakin aku blingsatan semakin aku berputar semakin aku pusing semakin aku tak pasti semakin aku limbung semakin aku mabuk semakin aku terjatuh semakin aku luka semakin aku mengaduh semakin aku melolong semakin aku binatang semakin aku mencakar semakin aku haus semakin aku kering semakin aku daun semakin aku tersapu semakin aku mencelat semakin aku sepi semakin aku puisi.
Depok, 2004
Lindap
Sinar pagi, matari menerangi lantai kamar
jendela terbuka menelan angin
aku sinis terhadap kata
aku lindap
Depok, 2004
Senyum
apa yang lucu,
ada yang lucu,
apa ada yang lucu?
Burung.
Burung?
Bagaimana paruhnya
menaruh senyum
tak seperti bibirmu yang plastis?
Kicaunya seperti tawamu
kepaknya seperti senyummu
Kau bercanda
Kau tersenyum
senyum lain lagi
sinis, tak mudah percaya, curiga
burung tak miliki senyum itu
mungkin di sangkar itu?
Ya, mungkin saja.
Ah, kau ada-ada aja
kita alih topik, bagaimana?
Boleh, untuk senyummu.
Depok, 2004
Luka Kamarku
Bau darah. Hitam. Amis. Bulan
kudibunuh tokohku
dengan pisau yang kuasah sempurna
dengan metafor.
Aku mati, tapi semakin sadar.
Kutekan on/of itu
layar kututup.
Sepi. Novelku belum jadi. Judi
kamarku bau kemenyan.
2004
Dari Biru
Kuserap warna hidupku
Dari biru yang langit
Dari biru yang laut
Dari santai yang hidup
Lalu aku berpesawat
Menuju masa depan
Berperahu menuju pulau
Tujuan. Mencari Tuhan
Dan segenap kesalahan
Hingga aku terlelap pada langit penuh bintang
Dan laut penuh lentera nelayan.
Bumi Sentosa, 2004
Yang Bercokol
Jiwaku hilang
Pada tubuh yang bercokol
Pada nafsu yang hantu
Pada mata yang terus nyalang
Pada kehidupan yang pusaran
Kini aku berjalan
Tanpa jiwa merindukan
Pagi. Inilah aku yang tercokol
Hanya saja Nya
Mulai menempat
Di kesadaran seperti gradasi
Kehadiran matahari
Untuk matahati.
Lalu siang adalah medan perang.
Bumi Sentosa, 2004
Krisis
telah, pagi
menghanguskanku
pada tunggu
senyampang bunga-bunga
gugur tertimpa
siram air
senyampang kau mandikan
anak-anak kita
“Ngak ada air panas
gas habis!”
katamu.
2004
Lobang hitam
Selalu saja
Hari pecah bak gelas
“Prang!”
lalu kuambil sapu
kupunguti bayangan diriku
kubersihkan aku
kutakut tajam kaca
lukai kaki anakku
dan darah tergenangnya
adalah kesesatan
Dan aku
Dan gelas
Dan pecah
Dan terserak
Dan darah
Dan tong sampah
2004
Doakanku!
Doakan aku
tengah kutulis
mimpi yang terlepas
saat azan subuh
membangunkan itu
Doakan aku
Tengah kususun
Puzzle bergambar
Anak kita dan toga
Dengan mata bahagia
Doakan aku
Tengah kukuliti
Kulitku sendiri
Setelah mengeramku
Tak terhitung waktu
Doakanku!
2004
Kenangan 2
Daun gugur itu
adalah pilihan angin
untukmu
terimalah dengan
hati dan tangan terbuka
lalu kau simpanlah
di bukumu
Daun gugur itu
adalah pilihan angin
untukmu
sadarlah suatu saat
bukumu penuh dengan
kisah
lalu kau temukan
aku di sana.
2004
Obituari untuk Politisi
Tinggalkan pesanmu
di nisan itu
kan kubaca satu saat
di kala hujan
berjas hitam dan payung
hitam
air mata hitam
lalu aku memburu jejakmu
pada matahari tersaput
dan kemboja bergoyang
setidaknya kau punya
kisah di tubuh sejarahku
semacam tato
yang enggan terhapus
dan diharamkan.
2004
Krisis II
SMS-mu:
Anak kita sakit. Uang itu untuk bayar listrik at ke dokter?
SMS-ku:
Jual HP-mu!
SMS-mu:
Hpmu jg!
SMS-ku:
Aku memerlukannya.
SMS-mu:
Apalagi aku. Tuk kejar tanggung jawabmu.
SMS-ku:
Cepat, anak kt bisa mati!
SMS-mu:
Sialan!
2004
Aku Lenyap
Tuhan, aku meniti
Diri ini menuju-Mu
Kah? Atau …
Aku lenyap pada
kata-kata. Lahap
melumat makna.
2005
Maklumat
Walau trasa berat
Kumaklumatkan nikmat-nikmat
Pada baja hati duniaku
Karna kadang
Nikmat jadi lazuardi
Yang masuki ruang mitos
; seolah abadi
karna kadang
nikmat terlupa karna
rasa meraja manusia
manusia mendewa manusia.
Aku maklumatkan saja
Atas sgala kurnia
Nikmat-Nya. Sebelum
Apa terjadi.
2005
Kesadaran III
Malam serupa asap rokok
Membuat kuterbatuk
Membuat kelelahan
Menyekam dan membakar
Helai demi helai jiwa.
2005
Tanpa Ampun Kutertimbun
Nikmati gemuruh
Pada kotak dunia
Terlepas dari kematian
Terlepas dari ruang
Sempit hati
Aku rebah pada suara dan
Visual meraja
Menyedot coca-cola
Melahap pop corn
Aku tertimbun hari ini
Tertimbun reruntuhan realitas
Aku tak bisa gerak dari enak
Nikmati segalanya
2005-2006
Paradoks
Bermalam di terik
Matahari
Saat aku lesat dari
Tubuhku sendiri
Saat aku bersatu dengan
Sengit wangi
Rasa rupa jasad gumpal darah nguap
Rasa raga rupa dupa lupa
2005-2006
Perjalanan yang bulan
Keterguncangan,
Kereta malam, dan rindu
Ada seperti bulan tertutup awan
Purnama yang murung
Waktu dalah suara roda
Dan masa depan dalah
Percikan api dari gesekan besi
Dan besi
Inilah aku yang gagap
Inilah kepalaku yang penuh
Terasa. Kerikil-kerikil pertanyaan
Dan bulan itu semakin murung
Lalu kubuka buku kolbu
Kucobatuliskan gelisah itu
Walau hanya sebait puisi mentah
Jogja-Bandung 28 Feb ‘05
Ada Esok di Jendela Kereta
Ada esok di jendela kereta
Tapi ini malam
Dan lampu-lampu itu
Seperti kunang-kunang
; terbadai angin
Ada esok di jendela kereta
Tapi ini malam
Aku hanya membaca arah
Hanya membaca harapan
Dan berkaca pada mata
Bayanganku sendiri
; sangat jelas
Ada esok di jendela kereta
Dan aku menunggu gelap itu
Jelma ruang bagi keindahan
Cahaya esok pagi
Di jendela kereta ini.
23.25, Lodaya, 28, 2, ‘05
Saatwaktukalamasa
Utk. Asma Nadia
I
Saat adalah aliran, menyungai pada jiwa
seperti angin pada setiap musim
ketika kita hanya bertapa pada dunia
ketika kita hanya berharap pada masa depan
angin yang mengabarkan badai
angin yang menabarkan harum bunga
angin yang mengabarkan bangkai
angin yang mengabarkan harum surga
Waktu adalah gelombang
Tempat kita berselancar menunggu pecahnya
selancar yang sekejap
sensasi yang profan
sensasi tempat kita lupa
euforia yang memamah jiwa
kita terbahak sebelum terjatuh pada
kedalaman kekal
yang tak terjangkau akal
kita terombang arus sesal
kita terbentur batu karang dosa
kita adalah yang terus tanya
apakah masa depan adanya
Masa adalah huruf menuju kata
Kata menuju frasa
Frasa menuju klausa
Klausa menuju kalimat
Kalimat menuju wacana
Wacana menuju klise
Klise menuju fana
Fana menuju kita
Kita yang terbuai kata
Kita yang terjajah makna
Kita yang seolah tuhan
Pencipta cerita
Lalu kita luruh jadi daun waktu
Lapuk terinjak-injak sepatu
Kala adalah ruang
salah satu dindingnya berjendela
tempat sinar matari menyapa
tempat percikan air hujan bercanda
tempat gambar indah rembulan berada
tempat angin melambaikan gordyn
tempat kita senyap saat dingin
tempat kita meluap saat ingin
Ruang adalah kala
Yang lalu berjamur
Menjelma reretak dinding
II
Kita, Mbak
manusia kadang
yang terbungkus kelelahan alur
dan ruang
kita fana
hidup dalam kotak fana
Sungguh, Mbak
setiap kelezatan adalah goda
sehingga kita jadi aku karenanya
aku yang menggumpal beranomali
akumba, akuku, akunya, akumereka, akukita
Wuih, Mbak
Susahnya menangkap sadar
Lelahnya menjadi sabar
Padahal usia adalah saatwaktukalamasa
Yang sebentar kelar.
Maafkan adikmu, Mbak.
Depok, Maret 2005
ku + Kau = waktu
Waktu adalah diriku
pada kaca tersaput
hawa hujan.
Kutulisku di sana
Kuhapusku di sana
Kunanti mentari
yang jernihkan
bayang
tapi Kau adalah
misteri terbesar
2006
Hanya sebuah rindu
adikku Zaki
Apa artinya tubuh
tercacah dan rasa sakit itu
jiwa ini justru
sempurna terbebas
dari belenggu
menunggu titah-Nya
pada malaikat
bekukan waktu
cabut kefanaan dan
patahkan jarum-jarum
jam setiap hening kehidupan
Apa artinya tubuh
tercacah dan rasa sakit itu
di ranjang ini
aku bersujud
keningku pada sajadah-Nya
Mahaluas. Terbentang
Ke keabadian
Kini, pada pergantian waktu
Aku tak gamang
Pada ruang
Aku hanya rindu.
2006
Melesap Jiwa
Melepas ketakutan
akan senyap detik
kutebarkan jala cinta
tuk tangkap keabadian
pada kelebat wajah-Mu
Dan hujan itu
Meneteskan kabar
Tentang kematian
Gerbang abadi
Lalu kuberusaha
Menebar senyum pada
Pusara waktu
Dan jadi bunga yang
Menghamburkan harum
Menancapkan simbol
Pada dunia tentang
Jiwa yang melepas diri
Dari kebusukan raga.
2006
Prosesi
Kumembunuhku
Di cermin waktu
Raretak kaca
Sebentuk kilat
Mengabarkan
Ruang ruam
Dunia sementara
2006
Yang Takutahu Selama Ini
Lalu apa sebenarnya
Ketakutan,
Saat semua
Berlalu?
2006
Waktu Rindu
Hembusan angin
Menusuk kulit
Dan bulan yang tersaput
2006
Waktu Bagiku
Hanya ruang
Bagi lembap rindu
Dan aroma
Kematian
2006
The Real Mistery
Ya, Allah
Mu tak juaku
Kau tak jua aku
Esok tak kutahu
Seujung kuku.
2006
Pesta Tahun Baru
Bunyi seliweran
Mobil.
Jengkrik
Kipas angin
Dan detak diri
Menunggu henti
Tak lelahkah dunia?
Tak lelahkah diriku?
Takada terompet
Takada sorai
Seekor katak kecil
Menyudut di ruang tunggu
Tubuhku terbujur
Jiwaku terbebas
Aku melihatku
Kefanaan bising di luar sana.
2006
Baru Saja Kucipta Puisi
Baru saja kutinggalkan
Tahun lalu
Saat sirine (seperti)
Menjemputku
Ah, kesadaran
adalah tragedi terbesar
saat kutakbisa terpejam
saat benak terkuasa
logika
Tapi, aku lari
pada puisi.
2006
Fragile
penat sekujur tubuh ini
gemeretak sendi
rasa lapar
pening di pusat kepala
kantuk yang menusuk
sakit yang melilit
Aku piring melayang
menuju pecah
Sedetik lagi.
2006
Saat iniku
Ziarahku pada
Pusara dosa
2006
Kalkulasiku
di sini ada ibu
adik-adikku
aku
dan kematian
yang melempar dadu.
2006
Saat Kuziarahi Ruang-Ruang Tunggu
lalu kuingat
kota kelahiranku
saat kuziarahi
ruang-ruang tunggu
di rumah sakit ini
aku lahir sedetik lalu
dan waktu
jadi tuwak
aku menangis
saat terompet menjerit
membunuh khusyuk
dan angin yang biru
pergantian tahun
saat aku masuki
dunia fana
itu.
2006
Oh,
menunggu bus
menelan debu
siang terik saatku
terjerat kesadaran
otak terarsir kelak
terhantui utang banyak
melangkah tertatih
di digit-digit syaraf
oh, awan mulai berarak
hujan tersedak di sana
gelapekat jelma jiwa
aku masih
mematung. Menanti pulang
oh, …
2006
Kassaif
Kassaif
Kassaif
Membabatmu
yang robot yang mesin yang tivi
yang mobil yang berderak
menuju dunia seakan
Kassaif
Kassaif
Menusukmu
Tepat di busukmu
Mencecahmu
Tepat di jejakmu
Kassaif
Kassaif
Memenggalmu
Saat kau punya nalar
Saat kau junjung bingung
Pertanyaan
Filsafat
Hingga kau mual
Kassaif
Kassaif
Membunuhmu
Pada ketaksempatapaapaan
mu.
2006
Dunya
lelah terus lelah
tak istirah menuju resah
resah terus resah
tetap gelisah menuju musnah.
2006
Rendezvouz?
Baca ayat-ayat-Mu
baca detik demi detik
yang berruang ketenangan itu
baca ayat-ayat-Mu
baca perjalanan penuh
rindu
yang memanjang hingga
ketakartian
karna kasih-Mu
karna sayang-Mu
karna rengkuh-Mu
2006
Belajar Tarikh
63 Muhammad-Mu
50 ayahku
55 kakekku
digenggaman-Mu
ruh ku.
2006
Yang Sedang Saling Menunggu
Lihatlah pada jendela, yang setyap
pagi kau bersihkan
debu-debu asyik bermain
bersama angin
membuat petak umpet kefanaan
Lihatlah pada jendela
kau, debu, angin
saling menunggu.
2006
Fatamorgana
Rindu pada kesementaraan
menerus dan menggelisahkan
hujan dan embun di jendela
seorang gadis berpayung
dan tersenyum
(Aku tak rabun
tentu saja)
Rindu pada kesementaraan
menerus dan menggelisahkan
hujan dan embun di jendela
tapi gadis itu tak ada
lenyap menyatu saja
pada gelap yang hampir sempurna
aku kembali pada foto di dinding
utara
kau tersenyum di sana.
2006
Blind Date
Secangkir cappucino panas
seriuh gosip pada meja penuh
denting piring
sesenyap harap pada esok yang lesap
serumit saat ini pada
jam dinding yang tlah mayat.
Aku berpusar pada ruang gusar
Aku berputar pada dunia denyar
Ha…ha…, hi…hi…, lalu
Hu… hu…
Menerus berotasi.
Dan detik ini tak pernah ada
Sedetik jua. Sedetik saja.
2006
Eksekusi
lalu apalagi
setelah keterbelahan
deleuzee dan hiperrealitas
aku menari jadi hologram
di atas mayat detik ini
; matari menyengat pelupuk mata
aku bangun di atas rel kereta
2006
Terkubur Waktu Terbakar Denyar
Saat Hollywood
Menyikat waktu
Dengan bulu-bulu kasar pasar
Tubuh terbakar denyar
Lalu kau terkubur waktu
Di bioskop itu
2006
Adalah perjuangan
perjuangan adalah
saat melawan diri
menutup waktu dengan
kejelasan arti
ya, kaki melangkah
ya, tangan menggapai
ya, jiwa mengembara
segeralah kembali
mungkin perlu sesekali
menyusuri jalan-jalan tepi
menemu batu yang
justru prasasti
2006
Hanya Kutonton
Ini, saat ini, di sini
Kutonton kegagalan demi
Kegagalan pada kegagahan
Demi kegagahan
2006
Aku yang terserak slalu
Semua tlah terpetakan
Pada daun-daun gugur
Yang kusapu setiap pagi
Saat ku kecil
Dahulu
Pada kerontangnya ada masa depan
Pada ranggasannya ada putus asa
Setiap pagi
Kini
aku patung
Pada helai kata
Saat koran kubaca
Derita, berita,cerita
Aku tersentak
Daun-daun gugur di halaman
Kembali menyeruak
Patahan ranting-ranting kecil
Pohon jambu itu
“Ini bukan rumah Nenek, Ayah.
Ini rumah tanpa halaman
Di kumuh gang hidup kita.”
2006
Pada Sejarah Retak
Saat seperti ini
Saat terjadi lebat hujan
Di ruang benak
berpetir bergelegar
Aku tercenung di depan
Pusara kepercayaanku pada
Setiap yang kubaca dan kurasa
Lihatlah betapa betapa
Sehingga sehingga-sehingga
Tv kumatikan
Koran kubiarkan terserak
Aku tersaruk
Pada sajadah waktu
Yang melulu kugelar
Bergambar masa depan
Buram, laras, dan bias
Aku nglumruk
pada watak jejak
pada sejarah retak
2006
Dan Aku
Dan aku menjadi
tunggu
tertugu-tugu
berlumut waktu
detik berakar
menjuntai menjalar
menuju dahaga kelar
Dan aku menjadi
dungu
termangu-mangu
di pusat ruang penuh lagu
berberahi, berkelahi,
2006
Dan Aku Terlambat Lagi
Aku baru saja dibunuhnya
Sms-sms itu menebar
Bau darah
Aku tergeletak pada
Huruf-kata-kalimat
Penuh janji
ruhku berbincang dengan waktu
Menyaksi tubuh yang tlah kaku itu
“Kiniku tahu kenapa kau menghabisiku.”
Sang waktu tersenyum sinis
: DAN KAU TERLAMBAT LAGI!
2006
Untuk sebuah pagiku
Ini tanggal pertama hitungan hari tahun ini
Ini langkah pertama hitungan amal tahun ini
Ini harap pertama hitungan cita tahun ini
Ini kesadaran pertama hitungan tarik ulur jiwa tahun ini
Ini dobrakan pertama pada hitungan kreativitas tahun ini
Ini kekhawatian pertama pada hitungan inkonsistensi tahun ini
Ini resah pertama pada hitungan gelisah tahun ini
Ini aku pertama pada hitungan identitas tahun ini
Ini puisi
Hanya untuk sebuah pagi
Yang cerah takterkira
: aku tertegun pada takterhitung kemungkinan
Kekwasaan Mahakwasa
Bumi Sentosa, 1 Jaunari 2007
Bagi Pagi Lagi
Bagi pagi lagi kutulis puisi
Bagi diri ini yang tertimbun memori
Pagi demi pagi 33 tahun sebelum pagi ini
Lagi aku tak bisa menuliskan makna sebuah pagi
Betulkah menulis puisi adalah menorehkan makna
Mengukir arti demi arti hidup
; aku, pagi, dan memori sering tak bisa kompromi.
Semua hanya repetisi bunyi
Sebuah aliterasi.
Bumi Sentosa, Januari 2007
Jumat Pagi
Setelah shalat subuh
Aku berjalan menyusuri pagi
Menikmati penampakan udara segar
Menikmati awan-awan berarak
Kapas-kapas bersambungan
Lalu aku hanya bertanya
Pertanda apakah sebuah kecerahan
Setelah shalat subuh
Aku tinggalkan masjid menuju
Jalan-jalan perumahan
Menikmati ketertataan, petak-petak sarang manusia
Pagi memang cerah
Biru langit melatari gumpal-gumpal awan
Bulan pias masih terlihat
Dan aku hanya bertanya
Ada apakah setelah keindahan
Setelah shalat subuh
Setelah kutapaki pertanyaan demi pertanyaan
Kukembali ke rumah
Menyeduh secangkir kopi
Sambil mendengar berita dari radio
Tentang ramalan cuaca
“Diperkirakan hari Sabtu besok akan tejadi hujan badai.”
Ujar penyiar mewartakan prakiraan cuaca BMG.
Kuseruput kopiku sambil menulis secarik puisi.
Puisi ini.
Bumi Sentosa, Januari 2007
Setelah hujan semalam
Kesegaran setelah semalam hujan
Meruap dari daun dan tanah basah
Aku berdiri di tepi jalan
Melihat masa depan.
Kesegaran setelah semalam hujan
Menemani kesadaran dan berdiskusi tentang perubahan
Aku melayaninya dengan semangat baru
Tapi aku lebih menikmati diriku yang di dalam ini
Kesegaran setelah semalam hujan
Dan bunyi burung pipit
Dan binatang-binatang bersembunyi
Laptopku yang mendengung dan menunggu tuangan imaji.
Kesegaran setelah semalam hujan
Kesegaran pada jalan setapak kehidupan
Yang tak ada jalan lain bagiku selain melewatinya.
Kesegaran setelah semalam hujan
Melahirkan aku baru.
Bumi Sentosa, Januari 2007