Cerpen, Politik, dan Siasat Naratif ; sebuah Pengantar Singkat

Cerpen, Politik, dan Siasat Naratif

; sebuah Pengantar Singkat

Oleh M. Irfan Hidayatullah

 

/1/

    Baiklah. Saya akan memulai tulisan ini dengan berterus terang. Saya sudah lama tidak menulis pengantar sebuah kumpulan cerpen. Terakhir saya lakukan untuk sebuah kumpulan cerpen karya Benny Arnas sekira empat tahun lalu. Karenanya, saat akan memulai kembali aktivitas yang satu ini, saya begitu terhambat, bahkan untuk sekadar menentukan sisi mana dari kumpulan cerpen ini yang akan saya angkat. Perlu diketahui, biasanya lintasan gagasan setelah membaca sebuah karya sastra yang saya akan kata-pengantari bisa berjumlah lebih dari dua. Dan kini, semua seperti dimulai dari awal lagi. Saya sedang belajar menulis lagi; dari sebuah kebingungan tematik.

    Bersyukurnya, kali ini saya ditantang memberi pengantar untuk kumpulan cerpen sahabat saya Afifah Afra. Ya, bersyukur, karena saya memiliki kedekatan sosiologis dengan sang penulis. Sama-sama aktif di Forum LIngkar Pena, terlebih saya tahu sekali jejak kreativitas sang penulis. Jadi secara identitas, saya sudah tahu arah tematik cerpen-cerpen Afra. Ini saya anggap sebagai hal yang membantu karena saya kemudian memiliki sebuah asumsi pola tertentu dalam setiap cerpennya. Secara puitika sosiologis karya yang dilahirkan mudah untuk diidentifikasi. Tentu saja, tanpa mengabaikan adanya kejutan-kejutan pada beberapa cerpen dalam kumpulan ini, saya tetap menemukan ke-Afraan dan ke-FLP-an di dalamnya. Ya, semacam identitas ideologis dan bahkan lebih spesifik lagi, sebuah identitas politis.

    Akhirnya, saya berani menyimpulkan bahwa kumpulan cerpen yang satu ini berbenang merah permasalahan politik dan Afra tampak sedang berupaya menyiasati narasinya. Bererti ada dua lapisan politis dalam kumcer ini, tema politik dan siasat bernarasi. Bukankah bisa dikatakan, menulis cerpen adalah tindak politis karena seorang cerpenis dituntut bersiasat untuk mengemas gagasannya agar identitas politiknya tersaji dengan apik? Menulis cerpen dalam hal ini ibarat sebuah tindak melobi yang di dalamnya tersirat sebuah persuasi, tetapi berkelindan dalam tuntutan kisahan. Bila teknik kisahannya kurang canggih karya tersebut akan jatuh pada propaganda. Namun, bila ternyata teknik kisahan atau naratifnya berlapis dan penuh perhitungan komunikasi ia akan menjadi karya yang ditangkap objektif oleh pembacanya.

    Baiklah. Saya akan memulai tulisan ini dengan berterus terang. Saya agak sedikit gugup untuk mulai mengungkapkan pandangan saya terhadap kumpulan cerpen ini karena ini juga tindakan yang sangat politis. Seperti biasa, dalam sebuah arena politik, harus ada idealisme yang dikemas agar tujuannya sampai dengan persepakatan ruang publik baik koalisi maupun oposisi. Mungkin agak ngelantur, tapi, memang benar adanya saat memberi pengantar sebuah karya di dalamnya ada tegangan antara tindak kritik dan tindak promosi. Banyak yang bisa dikritisi dari kumpulan cerpen ini, tapi saya dibatasi oleh sekadar halaman pengantar yang nota bene alih-alih dari sebuah testimony. Namun, eini, tepatnya bukan sebuah paradoks, tapi sebuah kesadaran bersiasat saja. Dan ternyata, memberi pengantar juga sebuah tindakan politis. Bagaimana saya kemudian tidak gugup.

 

/2/

    Tema politik dalam karya cerpen Indonesia banyak sekali, bahkan tentang ini Seno Gumira Adjidarma (SGA) menjadikannya adagium Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra harus Bicara (KJDSHB). Dan memang pada saat adagium itu didedahkan dalam sebuah buku, realitas yang diangkat SGA dalam cerpen-cerpennya adalah realitas politik represif negara ini. Ia mengangkat kasus Timor-Timur pada masa Orde Baru yang pada saat itu menggencarkan Represif State Apparatus (RSA) dalam menyelesaikan masalah kebangsaan. Dan kreativitas SGA merupakan kontrawacana dari itu. Hanya saja, yang ia mampu adalah melakukan kontra-Ideological State Aparatus (ISA). Mamang, akhirnya terjadi ketidakseimbangan pergulatan apparatus ideologis. Namun, pada ranah inilah yang bisa karya sastra lakukan. Dan, justru itu yang menakutkan penguasa.

    Berkenaan dengan tragedi Mei 1998, SGA juga “melawannya” dengan karya sastra. Di antaranya dalam kumpulan cerpen Iblis Tidak Pernah Mati. Tentu saja, cerpen SGA pada saat itu sangat politis. Ada siasat melawan wacana kekuasaan tidak jauh-jauh waktu dari kejadian sesungguhnya. Adapun pada zaman pascareformasi yang tersirat dalam cerpen-cerpen SGA adalah perlawanan terhadap wacana antipluralisme.Sekali lagi, semua begitu ideologis sekaligus politis. Dalam hal ini, bisa disimpulkan, SGA takpernah berhenti berpolitik melalui karya sastranya.

    Sebagai contoh lain, cerpen-cerpen Kuntowijoyo bisa diangkat di sini. Kumpulan cerpen terakhirnya (yang diterbitkan anumerta) Pelajaran bagi Calon Politisi adalah contoh representatif berkenaan dengan strategi naratif ideologis terhadap realitas politik Indonesia kontemporer. Melalui karya-karya yang ada di dalamnya, ia memotret kecenderungan politik keseharian rakyat Indonesia. Berbeda gaya dengan SGA, Kuntowijoyo melawan wacana politik dalam negeri dengan gaya realis. Bila SGA mengakumulasikan narasi perlawanannya dalam buku KJDSHB, Kuntowijoyo menuliskan dalam berbagai narasi politiknya dalam buku Paradigma Islam juga dalam Identitas Politik Umat Islam  (untuk hanya menyebut dua contoh saja). Tentu saja, saya tidak akan membahasnya di sini secara detil tekstual contoh-contoh yang saya sebutkan  dengan harapan siapa pun yang membaca pengantar singkat ini bergegas mencari buku-buku tersebut.

    Dua contoh pengarang dan karya mereka tersebut untuk menggarisbawahi bahwa menulis sebuah cerpen adalah juga sebuah tindak politis. Ia adalah sebuah pemberontakan terhadap sebuah peristiwa politik tertentu dalam ruang publik tertentu. Melalui siasat atau strategi naratif, setiap penulis berusaha menyasar target politiknya masing-masing. Begitupun dengan karya Afifah Afra. Bila dipetakan, setidaknya, ada tiga pola narasi yang dilakukannya.

 

/3/

    Setelah saya baca dengan sangat lambat, kumpulan cerpen ini menyisakan banyak kejutan. Keberanian sang penulis dalam meramu berbagai tema, sejak tema keluarga, tema alam, tema sosial-politik kemasyarakatan, dan tema sufistis membuat saya harus menyelam lebih dalam untuk mencari benang merah karya. Walaupun tentu saja takbisa dipaksakan adanya ikatan imajiner di antara keseluruhan karya, tetapi saya “curiga” ada “kegelisahan” substansial yang melandasi semuanya. Dari sinilah munculnya asumsi adanya strategi naratif dalam rangka gagasan politik sebuah karya.

    Cerpen-cerpen yang secara dominan mengangkat tema-tema keluarga, ternyata di dalamnya terdapat penanda politisnya masing-masing. Kita lihat pada cerpen “Pesta Kematian” terdapat upaya pengukuhan relasi kekuasaan antara seorang Bapak dengan anak-anaknya dan dunia yang digenggamnya. Sebuah narasi pemertahanan kekuasaan yang unik. Paradoks antara kesadaran transenden tentang kematian dengan keprofanan dunia dimainkan dalam cerpen ini.

Dia ingin saat kematiannya, orang-orang berduyun-duyun meramaikan upacara persemayamannya. Itulah akhir yang agung dari kebesaran yang pernah ia miliki selama menempuh kehidupan di dunia.

Dan dia begitu sibuk dibuatnya.

“Kau harus membuat makamku seindah istana, Nak!” ujarnya, pada seorang anaknya. “Hanya satu hal itu yang tidak bisa saya lakukan. Saya bisa mempersiapkan peralatannya, mulai dari semen, marmer, hingga emas untuk menyepuhnya. Namun kaulah yang kuharapkan menjalankan rencana itu dengan baik.” (hlm…)

 

    Demikianlah, sang tokoh utama kaya raya yang disebut Bapak dalam kisah ini mempersiapkan kejayaannya sampai dia meninggal. Ia menginginkan symbol kejayaannya dikukuhkan sampai ke pemakamannya. Namun, perayaan itu diceritakan terjadi lebih “dahsyat” karena kematiannya dalam sebuah kecelakaan pesawat. Penulis mengkhiri kisah ini dengan sebuah sarkasme yang berhasil. Sebuah siasat naratif untuk sebuah kisah penuh siasat.

Maka pesta kematian pun berlangsung meriah. Ribuan—bahkan jutaan makhluk datang bertandang. Bukan manusia. Namun satu kerajaan arthropoda yang mengerubuti seonggok jenazah hangus di antara puing badan pesawat udara.

Pesta kematian yang begitu istimewa. (…)

 

    Tema keluarga yang akan dibahas berikutnya adalah cerpen yang dijadikan judul kumpulan ini, yaitu “Seorang Lelaki dan Selingkuh”. Sebuah kisah tentang kesetiaan seorang suami yang berprofesi sebagai penarik becak. Kisah ini, menurut saya, adalah cerpen yang paling berhasil di antara cerpen lainnya. Bukan hanya karena twist di akhir cerita saja, tetapi juga karena kebersahajaan penceritaannya. Karena itu, cerpen ini sangat menonjol setelah dilatari pola penceritaan dan pola bahasa yang hiperbolis dan metafor yang akrobatis.

    Memang cerpen ini bukan berbicara tentang politik praktis, tetapi di dalamnya mengandung politik identitas yang sangat kuat. Relasi antara seorang tukang becak dengan tradisi merokok di dalamnya tersirat ketakberdayaan masyarakat kelas bawah terhadap industri rokok. Betapa pentingnya “tokoh” rokok dalam cerpen ini sehingga menurut saya menggeser sang suami pengemudi becak dari posisinya sebagai tokoh utama. Jalinan ideologis antara rokok, uang, dan kesetiaan disajikan dengan apik dalam cerpen ini. Karena itu, kekalahan sang tokoh utama di akhir cerita sangatlah politis. Relasi kuasanya atas rokok, istri, dan uang tergerus seketika. Yang dirasakan dalam hatinya bukan hanya kekalahan moral, tetapi “politik”.

 

“Maaf, aku merokok, Pen!”

“Oh, nggak papa….”

“Tetapi mas Wied kan tidak merokok.”

“Aku yang melarang. Masak tukang becak seperti dia merokok, bisa-bisa uangnya habis buat beli rokok, terus… mau makan apa? Kalau mas kan cukup kaya.”

“Jadi nggak papa aku merokok? Kupikir kamu nggak suka melihat laki-laki merokok.”

“Kalau kamu yang ngerokok, aku tetap suka, Mas!”

“Benar? Eh, kalau suamimu tiba-tiba pulang, bagaimana?”

“Tenang saja, suamiku baru akan pulang nanti jam satu malam. Masih ada waktu 2 jam. Kita lanjutkan saja bersenang-senang, Mas….”

“Kau mau merokok?”   

“Ngg… boleh… sini, aku coba!”

“Kau cantik sekali, Pen! Mestinya kamu nggak jadi istri tukang becak…, tetapi jadi istri orang semacam aku.”

“Mas….”

Percakapan itu begitu jelas memasuki gendang telinga Wied. Sebenarnya lirih, namun tertangkap di syarafnya seperti ledakan guntur. Lelaki itu pun merasakan tubuhnya bergetar kencang…. Ada yang merangsek dalam hatinya… luka!

Begitu dalam. Ia tak tahu apa yang mesti ia lakukan.

 

    Berikutnya, adalah cerpen yang bertema alam, yaitu “Attar” dan “Perempuan yang Mencintai Pohon-Pohon”. Kedua cerpen ini, sebenarnya bertema keluarga juga, tetapi menjadikan alam sebagai media atau katalisator ideologis. Dalam cerpen “Attar” narator adalah sebuah pohon trembesi yang kuat dan takhancur ditimpa bencana Merapi. Hal ini, bisa dibaca sebagai siasat naratif untuk menyampaikan pesan politis relasi manusia dengan manusia. Attar yang terasingkan dalam relasi keluarga dan masyarakat memerlukan pelampiasan diri melalui tindak kemanusiaan. Pada saat yang sama ada sebuah pohon dan seorang gadis merasa kehilangan sosok Attar saat ia akhirnya meninggal tertimpa reruntuhan. Kehilangan ini adalah sebuah indeks dari adanya realitas hierarkis antara alam dengan manusia. Alam menjadi pihak yang terepsesi oleh banalitas kehidupan manusia. Dalam konflik ini, perasaan kehilangan adalah siasat naratif dalam bingkai politik ekologis.

Mendadak aku tersadar. Kalaupun kau bertanya padaku, aku tak mungkin bisa menjawabnya. Ya, karena aku hanyalah sebatang pohon trembesi raksasa, yang telah hidup sejak puluhan tahun yang lalu. Berkali-kali aku menjadi saksi meletusnya Merapi. Dan di peristiwa kemarin, aku ikut tersembur awan panas. Daun-daunku pun mengering. Tetapi, aku masih bisa tumbuh lagi. Tak seperti Attar, yang terkubur di sana.

Kusaksikan awan yang pekat menutupi pandanganmu. Kau berjalan terhuyung, tanganmu bergetar saat membuka pintu mobilmu. Mendadak, aku teringat kata-kata Attar.

Siapa yang akan merasa kehilangan sekalipun ragaku lumat? Tak ada, Bang! Tak ada.”

Kau salah, Attar. Ada yang sangat kehilangan saat kau tiada. Gadis itu. Dan aku.

 

    Begitupun dengan cerpen “Perempuan yang Mencintai Pohon-Pohon”, relasi yang sama terjadi. Alam sebagai katalisator makna dari kondisi teralienasinya dua orang perempuan. Alam dijadikan pelarian melalui aksi simulasi kedua perempuan tersebut. Selain itu, nama-nama tokoh yang berbau alam, seperti Jejak Rimba dan Biota Nirwana memiliki peran tersendiri dalam peleraian sebuah konflik psikologis. Begitupun sebaliknya, saat terjadi personifikasi pohon-pohon  atas sosok anak-anak tersirat sebuah upaya katarsis dari tokoh Sang Puan. Dalam hal ini, secara politis alam dijadikan objek cerita, yaitu sebagai alat peleraian masalah antarmanusia. Kritik ekologis dalam cerpen ini terhijab oleh kuatnya konflik keluarga. Namun, untungnya, masih tersisa makna sindiran pada gaya hidup modern anak-anak sang Puan yang menjadikan mereka begitu “jahat” terhadap sang Ibu yang dalam dirinya terdapat kesadaran ekologis.

Oh Rimba… aku tak tahu, mengapa akhirnya menjadi seperti ini. Tak hanya Pak Ardi, keempat putra Nyonya, semua bersepakat dalam satu hal: aku dipecat dan harus segera angkat kaki dari istana ini. Mereka menuduh akulah yang membuat mama mereka gila. Padahal, aku baru 6 bulan di sini, dan Sang Puan telah mencintai pohon-pohon sejak bertahun-tahun yang lalu.

Tetapi, Sang Puan membelaku mati-matian. Aku tetap berada di rumah ini, Rimba…

“Temanilah aku, Nak… jangan pergi, kita sama-sama mencintai pohon-pohon, meski kecintaan kita sebenarnya sebuah pelarian dari perasaan kehilangan kita akan cinta manusia. Nak, kamu mau kan, menemani Mama dalam kesunyian yang mencekam ini?”

Kuraih tangan perempuan itu, kujabat erat lalu kucium. Dan mendadak aku merasakan sepasang lengan rapuh itu memelukku. Bersama tangis yang pilu.

 

    Strategi naratif yang sama sebenarnya terjadi pada cerpen “Alex dan Roxana”. Hanya saja, pada cerpen ini katalisatornya bukan alam, tetapi dunia sosial media. Ini sebuah contoh cerpen postmo menurut saya. Namun, pada kumpulan ini hanya ada satu cerpen bercorak ini. Makna yang berusaha diungkapkannya adalah sama dengan dua cerpen yang dibahas sebelumnya, yaitu tentang relasi kemanusiaan yang disimulasi melalui media lain.

    Korpus berikutnya adalah berhubungan dengan tema sosial-politik kemasyarakatan. Cerpen-cerpen bertema tersebut paling banyak dalam kumpulan ini: “Perang Doa”, “Sampah”, “Sandal Jepit sang Walikota”, “Fardhu Kifayah”, “Shima”,  “Bisnis Sang Caleg”, “TPQ-gate”, “Kakek Tua dan Tikus”, “Matinya Sang Peramal”, “Menanti Cinta Sejati”, “Malaikat Akan Datang Kepada Surti”.

    Kedua belas cerpen ini memiliki tema politik yang bertingkat sejak politik kemasyarakatan minor sampai tema politik mayor atau seputar politik praktis. Tema minor terdapat pada cerpen “Sampah”, “Fardhu Kifayah”, dan “Malaikat akan Datang Kepada Surti”. Ketiganya saya kategorikan minor karena tema politik yang diangkat tersirat dalam ruang lingkup konflik keseharian. Namun, walaupun demikian, sosial politik kemasyarakatan sangat terasa, seperti kisah seorang penarik sampah yang paradoksal dalam tatanan masyarakat urban dalam “Sampah”. Relasi kemasyarakatan dalam terma keagamaan berkelindan dengan permasalahan individual dan kolektif dalam “Fardhu Kifayah”. Dan sebuah potret buram sosial urban yang determinis dalam “Malaikat Akan Datang Kepada Surti”. Kesemuanya adalah kritik sosial politik yang cukup tajam. Di balik semua kejadian ada kebijakan politik yang bermasalah.

    Jawaban dari karut marut kemasyarakatan  pada ketiga cerpen tersebut terjawab secara gamblang dalam tema politik mayor pada kumpulan ini. Lihat saja pada “Sandal jepit Sang Wali Kota” misalnya, di sana terdapat pergeseran idealisme politik seiring kontestasi liberal perpolitikan. Kesederhanaan yang dijadikan komoditas politik bukankah terjadi saat ini? Namun, serunya, cerpen ini kemudian memotret evolusi kemanusiaan politisi tersebut yang ternyata tanpa disadari telah menjauh dari niat awalnya. Problem pertama akar permasalahan sosial masyarakat pada politik minor telah diangkat dengan jelas dalam cerpen ini. Belum lagi saat membaca “Bisnis Sang Caleg”, “kakek Tua dan Tikus”, “TPQ-gate”, dan  “Matinya Sang Peramal”, terdapat problem-problem lanjutan. Tentu saja bisa ditebak: Politik transaksional, Korupsi, Stigmatisasi Politik, dan Konspirasi Absurd Perpolitikan Bangsa. Lengkap sudah!

    Permasalahan tersebut kemudian diakumulasi dalam sebuah cerpen metaforis yang berjudul “Menanti Cinta Sejati”. Afra dalam hal ini kembali membuat simulasi. Kali ini tentang sketsa sejarah negeri ini.

Perkenalkan, namaku Puteri Khatulistiwa. Lengkapnya Raden Ajeng Puteri Khatulistiwa. Sebuah nama yang agung, seagung sang pemberi nama: ayahanda dan ibunda. Ayahanda Paduka Dirgantara, raja yang berkuasa di persada angkasa. Ibunda Pertiwi, pemilik bentangan semesta yang raharja dengan kekayaan tiada tara. Perkawinan Dirgantara dengan Pertiwi melahirkan Puteri Khatulistiwa, jabang bayi montok yang beranjak dewasa dan menjelma menjadi gadis gemilang nan akas cendekia.

 

    Sebuah siasat atau strategi naratif yang patut diapresiasi saat penulis memersonifikasi negeri ini menjadi seorang gadis yang gagal terus dalam percintaannya. Namun, terlalu banyak yang harus dijelaskan berhubungan dengan psikologi dan sosiologi naratif sementara tujuannya adalah politis: menggambarkan betapa Indonesia belum berada pada tangan yang tepat. Di sini ada ketegangan antara tubuh sosial dan tubuh manusia. Sebuah bias citra akan terjadi berhubungan dengan eksploitasi sosial dan seksual secara verbal. Karena itu, risiko siasat personifikasi ini sangat rentan, Dan itu terbukti dalam akhir kisah.

Akan tetapi, mari aku ceritakan sesuatu kepadamu. Jangan keras-keras, dan jangan ceritakan kepada orang lain. Aku… frigid. Aku mati rasa. Karena, sudah terlampau lama menderita.

Namun, aku harus bercerita pula kepadamu, dengan sedikit berbisik. Harapan itu masih ada. Harapan dipinang oleh seseorang yang benar-benar mencintaiku dengan setulus hati. Seseorang yang mencintai dengan cinta sejati. Bukan karena menginginkan kekayaan yang kumiliki, atau menikmati kecantikan yang melekat pada diriku.

Tolong, jika kau memiliki orang dengan kriteria seperti itu, kabarkan kepada dia bahwa aku menunggunya…

   

    Munculnya diksi frigid dan mati rasa, saat dikembalikan ke akar wacana mengandung bias logika. Sementara itu, simulasi naratif yang dilakukan mudah sekali ditafsirkan sebagai metafor atas negeri ini. Bukankah kestabilan politik sebuah bangsa usianya tidak bisa disamakan dengan usia dan kondisi biologis seorang gadis. Sejarah membuktikan, kejayaan peradaban diperjuangkan puluhan bahkan ratusan tahun? Relativitas yang tidak bisa disandingkan dengan siklus seorang manusia yang pada umumnya tak lebih dari 100 tahun usia, bahkan kurang?

    Demikianlah, berbagai upaya pengungkapan tema politik melalui beberapa strategi naratif  telah dilakukan oleh penulis kumcer ini. Namun, tidak sampai di situ. Sebagai ulasan pamungkas, saya akan membicarakan tema-tema sufistis dalam kumcer ini, yaitu pada cerpen-cerpen berikut: “Perjamuan Malaikat”, “Sebilah Pisau untuk Membelah Dadaku”, “Perempuan Berkapan Rambut”, “Membunuh Sang Kyai”,  dan “Perempuan yang Mengandung Bola Api”.

    Saya melihat ada keberanian tinggi dari penulis untuk melampaui realitas dengan mengambil sudut-sudut pandang, fokalisasi-fokalisasi, dan strategi-strategi naratif yang imajinatif bahkan fantasi. Hanya saja, setiap sumber kisahan acapkali menuntut strateginya masing-masing. Kisah realis “Seorang Lelaki dan Selingkuh” sangatlah berhasil karena tuntutan kisahan yang dipenuhi penulisnya. Begitu juga kisah-kisah politik negeri yang lebih meminta pemenuhan fakta, data, dan kedalaman interpretasi kesejarahan. Dalam hal ini saya jadi teringat kumpulan cerpen Iksaka Banu, Semua untuk Hindia.  

    Pada kumpulan tersebut Banu dengan sangat sederhana mengisahkan realitas-realitas Indonesia zaman kolonial. Saya melihat strategi naratifnya berhasil karena realitas yang diangkatnya meminta dia untuk berlaku seperti itu. Bagaimana relasi antara seorang tokoh blasteran Indonesia-Belanda di tengah politik identitas saat itu misalnya, dan sebagainya. Intinya, kepekaan pengarang menggarap jenis kisahan sangatlah penting. Namun, kumpulan cerpen ini menjadi berarti saat digenapi oleh tema-tema sufistis.

    Menurut keimanan seorang muslim hal-hal yang irasional memang bagian dari kehidupan. Ada Sang Maha di balik segala yang mungkin dan serba kalkulatif. Lihat saja makna yang tertanam dalam “Perjamuan Malaikat”. Ia melampaui politik minor dan mayor yang saya sebutkan sebelumnya. Ia adalah poliltik transenden, ilahiah, yang hanya memerlukan iman. Belum lagi pada “Sebilah Pisau Membelah Dadaku”, sebuah hiperbola yang berani (dengan berbagai catatan logika dan teknis tentu saja). Namun, demikianlah sebuah kisah sufistis menuntut strategi kisahan. Belum lagi saat membaca “Perempuan yang Berkafan Rambut” yang akan menyeret pembacanya pada sebuah ruang nirlogika seperti juga pada cerita “Perempuan yang Mengandung Bola Api”. Kedua kisah tentang perempuan yang menghadapi realitas modern yang menuntut strategi naratif tersendiri.

    Ulasan pamungkas dari kategori pamungkas ada pada cerpen “Membunuh Sang Kyai”. Cerpen ini menurut saya adalah cerpen jembatan antara semua cerpen yang ada. Saat Afra bercerita tentang tema alam, tema politik kemasyarakatan, dan tema sufistis, ia sedang berusaha melakukan “dakwah” kultural tentang problematika umat. Ia melihat dalam berbagai dimensinya umat sedang dalam permasalahan. Namun, solusi permasalahan yang ada terlalu bersifat politis-kalkulatif sehingga ia berusaha membuat cerita yang metaforis. Semua mencoba disisipkan pada strategi naratif yang tidak biasa karena permasalahannya juga tidak biasa. Dan titik ideal dakwah kultural yang coba diangkatnya adalah ada pada dua kisah “Shima” dan “Membunuh Sang Kyai”. Pada Shima adalah ada transformasi kisah keadailan Rasulullah yang diwujudkan pada kebijakan seorang Ratu saat harus menghukum anaknya sendiri demi keadilan. Namun, kisah ini terlalu umum dan berada pada ruang istana. Walaupun tidak ada yang salah dengan itu, saya lebih tertarik untuk membahas cerpen “Membunuh Sang Kyai”.

    Pada cerpen tersebut ada upaya pembenturan antara yang terlihat dengan yang takterlihat, antara persepsi permukaan dengan realitas sesungguhnya, antara fakta dan realitas, antara politik-artifisial dengan politik transendental. Bahwa perubahan tidak bisa dilakukan dengan instan dan serba cepat ditekankan dalam cerpen ini. Bukankah itu hakikat dari gerak kultural sebuah dakwah. Saat sang Kyai yang dibunuh, ternyata eksistensinya ada di setiap lorong permasalahan umat dan dirindukan di sana itulah sejatinya tugas khaira ummah dalam bingkai rahmatan lil alamin. Hanya saja, tidak semua bisa mengindra hal itu, termasuk tokoh utama dalam cerpen ini. Bersyukurnya, ia kemudian dibawa dalam perjalanan spiritual  untuk meresepsi perjuangan sang kyai. Ia berubah dari tubuh positifis ke tubuh eksistensial. Ia berhijrah dari yang syariat ke yang hakikat menuju yang makrifat. Wallahua’lam.

 

/4/

    Baiklah. Saya akan menutup tulisan ini dengan berterus terang. Saya agak gugup mengakhiri tulisan ini karena banyak yang belum selesai diungkap berkaitan dengan pendapat saya tentang strategi naratif cerpen ini. Namun, menganalisis kumpulan cerpen ini haruslah dalam bentuk seluas-luas karya tulis, mungkin skripsi , tesis, atau bahkan disertasi. Karya ini layak mendapatkan analisis mendalam. Ala kulli hal, tahniah untuk sahabatku Afifah Afra. Barakallah.

Bandung, 27-28 November 2018


Comments

One response to “Cerpen, Politik, dan Siasat Naratif ; sebuah Pengantar Singkat”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *