Danarto dan Ricoeur

Membaca Subjek dalam Cerpen “Jantung Hati” Karya Danarto

Oleh M. Irfan Hidayatullah

 

Membaca pemikiran Paul Ricoeur, mengingatkan saya pada sebuah cerpen karya Danarto yang berjudul Jantung Hati (2008). Pada keduanya saya menemukan semacam kesamaan konstruksi. Namun, saya meyakini bahwa hal ini bukanlah semacam kebetulan melainkan sebuah bukti bahwa pemikiran semacam Recour tentang Hermeneutika pada faktanya terdapat pada teks-teks lokal. Dan saya sangsi bila Danarto sengaja membaca Ricoeur untuk menulis cerpen ini.

Pemikiran Ricoeur yang saya bahas di sini adalah pemikiran mendasarnya tentang interpretasi atau penafsiran. Simpulan ini disempurnakan oleh penjelasan Bu Toety Herati dalam perkuliahan  Seminar Teori dan Metodologi Ilmu Pengetahuan Budaya bahwa Ricoeur memiliki gagasan yang di dalamnya ada sebuah upaya penyatuan antara paradigma eksplanasi atau penjelasan dan paradigma understanding atau pemahaman.  Tentang ini Riceour bermaksud mengambil jalan tengah di antara keduanya yang selama ini selalu disandingkan pada dua ranah keilmuan yang berbeda, yaitu ilmu alam yang bersifat nomotetis dan ilmu sosial atau budaya yang idiografis.

Ricoeur manggagas bahwa di antara keduanya bisa disatukan dalam sebuah tindak interpretasi . Tentu saja ia bergerak dalam ranah ilmu budaya yang pada paradigma Hermeneutik sebelumnya seolah menyetujui  dikotomi tersebut. Karenanya Ricoeur dalam memunculkan tesisnya ini mencoba belajar dari berbagai bidang yang memang dilandasi oleh paradigma. Ia mempelajari dan mengkritik teori-teori Hermeneutik sebelumnya, ia juga berdialog dengan strukturalisme yang berparadigma eksplanasi tersebut. Selain itu, ia juga membaca pemikiran psikoanalisis-nya Freud. Dari jejak-jejak pembelajaran tersebut akhirnya Ricoeur memunculkan gagasan bahwa interpretasi bisa berada di atas dua paradigma tersebut.

Ricoeur kemudian meletakkan teks sebagai pusat dari meaning yang sebelumnya telah dijauhkan (distansiasi) dari sumbernya baik itu berupa kejadian (event) atau maksud pengarang. Dalam hal ini teks adalah sebuah entitas otonom yang memiliki potensi untuk dimaknai tanpa pengaruh dari pengarang atau event yang melahirkannya. Ricoeur menganggap pengarang telah mati saat teks yang diproduksinya lahir. Kematian pengarang ini dibuktikan oleh sebuah aksi penjarakkan (distansiasi).  Setelah itu, teks tersebut menjadi memiliki keotonoman yang secara internal memiliki potensi untuk membuka makna. Proses dalam penggarapan teks secara otonom tersebut, menurut Riceour adalah sebagai tahap eksplanasi. Dalam hal ini, Recoeur mencontohkan penelitian mythem –nya Levy Strauss dan strukturalisme Naratologinya Proop dan  A.J. Greimas. Namun, tidak sampai di sini, Riceour kemudian membuat sebuah fase lain yang ia sebut sebagai aprporiasi atau peleburan terhadap pembaca (dalam terjemahan buku Thompson disebut pendakuan). Pada titik inilah ada sebuah subjek lain yang kemudian akan menafsirkan teks dengan jarak yang jauh dari pengarangnya. Teks pada titik ini telah di-kinikan dan di-di sini-kan oleh pembacanya. Hal inilah yang menurut Ricoeur dapat menjadikan teks kaya akan meaning atau makna dan penafsiran atau interpretasi yang dibuat menjadi betul-betul milik pembaca yang di dalam dirinya memiliki pengalaman sebagai alat tafsir. Riceour kemudian menyebutkan hubungan antara teks dengan pembaca sebagai wacana atau diskursus.

Tafsiran saya tentang pemikiran Ricoeur tersebut adalah tentang subjek yang mengada dalam masing-masing posisi. Jadi hubungan antara teks dengan pengarang dan hubungan teks dengan pembaca adalah semacam hubungan antarsubjek dengan subjek bukan subjek-objek atau objek-subjek. Ini menarik, menurut saya, karena dengan adanya upaya ini masing-masing entitas (pengarang, teks, dan pembaca) memiliki otoritas tersendiri. Pengarang dalam hubungannya dengan sumber tulisan, teks dengan makna di dalamnya, dan pembaca dengan interpretasinya adalah memiliki kebardayaan. Kesubjekan inilah yang kemudian saya temukan dalam konstruksi sebuah cerpen berjudul “Jantung Hati” karya Danarto.

Cerpen ini menceritakan tokoh saya yang pada hari itu ia mati. Jadi, tokoh ini telah dijarakkan dengan dunia. Dalam kematiannya ia melihat jenazahnya dikebumikan. Ia juga melihat anak-istrinya menangis di tepi gundukan kuburan. Ia juga melihat teman-temannya yang lain (hlm. 7).  Tokoh saya dalam cerpen ini meninggal karena serangan jantung saat mencoba mengejar pelaku pengeboman sebuah mal. Saat kematian inilah kemudian saya menemukan dirinya memiliki kesadaran akan dunianya. Ia bahkan dapat mengindera malaikat Izrail yang digambarkan dengan begitu indahnya sebagai bunga (sekuntum malaikat) (hlm. 8).  Tidak sampai di situ, pada posisinya saat itu, yang ia yakini bahwa ia berada pada fase kehidupan berikutnya, yaitu alam kubur, ia menyadari bahwa dunia telah tidak menarik lagi. Dunia baginya adalah masa lalu. Dan ia saat ini telah menjadi subjek pada alam berikutnya. Ia bahkan menyimpulkan bahwa manusia telah salah tafsir tentang kematian dan tertipu oleh tafsir mereka sendiri tentang dunia.

Ternyata kematian itu membahagiakan. Sungguh di luar dugaan. Kematian itu tak terbatas, luas bagai cakrawala. Mengapa harus ditangisi? Jelas ini salah tafsir (hlm. 8)….

Dunia tinggal kenangan di alam mimpi. Keluarga saya, ternyata keluarga yang berada dalam impian. Seluruh pahit getir hidup yang saya alami ternyata berada di sebuah dunia yang tidak ada. Adam dan keturunannya adalah maya, ciptaan yang tidak ada, tak ada tempat yang begitu buruk seperti dunia sehingga setelah menciptanya Tuhan pun melengos. Saya selalu mengulang-ulang hikmah dari kiai saya. (ibid.)

Di alam kubur itulah sang saya melihat dunia dengan objektif. Ia seolah sedang memperlakukan dunia sebagai teks yang ia gumuli kemungkinan maknanya. Dalam cerpen ini, sang saya betul-betul sedang menafsirkan secara bebas dunia yang selama hidupnya dulu justru menjadi kebanggaan. Ia bahkan menekankan bahwa manusia sangat terkuasai oleh tubuhnya yang ia ibaratkan sebagai pakaian yang sebenarnya, setelah ia sadari di alam kubur, ternyata hanya membebani.(hlm. 11-12). Ia pun menegaskan bahwa dalam ibadah manusia adalah telanjang di mata Tuhan sehingga pakaian takada gunanya (hlm. 12).

Demikianlah tokoh saya sedang menafsirkan dunia setelah mengalami proses distansiasi dari kehidupan dunia itu sendiri.

 

 

 


Comments

One response to “Danarto dan Ricoeur”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *