Dead Poets Society ; Rahasia sebuah Pembelajaran
Oleh M. Irfan Hidayatullah
Sebuah karya utuh adalah sebuah karya yang memiliki makna pada setiap unsurnya. Ada makna pusat dan ada makna yang mengitarinya yang keseluruhannya terjalin menjadi sebuah struktur lengkap yang ketika seseorang membaca, mendengar, atau melihatnya akan mendapatkan pesan utuh.
Teks pertama sekaligus teks pusat yang akan saya baca adalah film Dead Poets Society (DPS). Film ini mencoba mengungkap dengan sangat teliti akar sebuah permasalahan remaja. Pada film inilah saya menemukan inventaris permasalahan remaja lewat tokoh-tokoh remaja yang dihadirkannya. Di antara banyak tokoh yang ada saya menemukan cermin permasalahan pada Neal (tokoh utama) dan Todd. Kedua tokoh tersebut sama-sama memiliki permasalahan psikologis keremajaan mereka disebabkan sikap orang tua.
Keunggulan Neal sebagai anak pintar dan potensial bisa jadi sebenarnya dibangun oleh pola didik orang tuanya (sang bapak) yang disiplin. Akan tetapi, pada titik tertentu perjalanan hidup Neal, yaitu saat remaja, sang bapak tidak mau menyesuaikan pola didiknya dengan psikologi keremajaan Neal. Jadilah, sebuah ledakan dahsyat saat Neal bunuh diri dalam keputusasaannya (padahal Neal telah banyak belajar dari guru Bahasa Inggrisnya). Benturan yang dialami oleh Neal berbeda dengan tokoh yang lainnya karena Neal diposisikan sebagai remaja yang potensial yang memiliki banyak energi untuk berbuat lebih banyak. Pengekangan orang tua dalam hal ini menjadi semacam pemicu suburnya pemberontakan jiwa.
Ada dua kalimat yang dapat dijadikan bukti pergulatan batin Neal, yaitu My parent will kill me! Dan I hate the clarinet, the sexophone more loud! (ungkapan ketika Neal dan teman-temannya berada di gua Indian). Dua kalimat tersebut saya posisikan sebagai dua hal yang terus bergemuruh dalam jiwa Neal, antara takut pada ayahnya dengan keinginan untuk tidak seperti biasa (memberontak). Selain itu, ada dua lakuan yang menjadi tanda dunia ambivalen Neal, yaitu antara kepatuhan mutlak pada ayahnya saat Neal dilarang mengikuti pers kampus dan teater dengan andil Neal dalam menanamkan keberanian pada teman-temannya, terutama Todd. Saat itu Todd menunjukkan hadiah ulang tahun yang sama dengan tahun sebelumnya. Todd sebenarnya merasakan itu sebagai ikon dari keterkekangan, tapi ia tidak berani mengungkapkannya sebelum Neal tiba-tiba melemparkan hadiah tersebut dari ketinggian. Ambivalensi ini yang membuat jiwa Neal bergemuruh, sebelum akhirnya bunuh diri.
Sementara tokoh Todd berposisi sebaliknya dari Neal. Ia berada pada kerendahdirian. Ia merasa menjadi orang yang selalu dibandingkan dengan kakaknya yang berprestasi sehingga segala potensi yang ada seolah termatikan karenanya. Baru pada akhir cerita ia menemukan keberaniannya yang melebihi kadar yang ia duga sebelumnya, saat ia berani mengungkapkan penghormatannya pada sang guru yang dipecat. Simbol yang dimunculkan adalah dengan berdiri di atas bangku. Sebuah keberanian yang di luar dugaan walaupun memang sebelumnya telah dicontohkan oleh sang guru. Namun, saat itu berdiri di meja sang guru bukan di meja sendiri. Ini adalah simbol kemandirian yang luar biasa.
Film ini menjadi sangat membangun usaha memahami dunia remaja karena andilnya dalam memberikan gambaran real atas problematika remaja. Artinya, DPS tidak terjebak pada budaya massa yang cenderung mengeksplorasi sisi-sisi hiburan semata. Film ini bisa membuat remaja berkaca dan orang tua merenung. Keutuhan antara cerita dan simbol-simbol budaya sangat membantu penonton untuk berpikir mendalam. Inilah teks yang membangun solusi bukan menambah permasalahan. Saya simpulkan ini karena DPS menjadi bersifat elitis (eksklusif) saat dibandingkan dengan film-film remaja murahan, semisal Scream, Ten Thing I Hate about You, Urban Legend, Soul Survivor, dan berpuluh bahkan beribu film remaja impor lainnya.
Leave a Reply