Ada kalanya kau berada di sebuah halte dari perjalanan ke perjalanan. Yang bisa kau lakukan hanya menunggu keberangkatan. Namun, pada saat yang sama kau bisa melakukan banyak hal sebenarnya. Membaca! ya, salah satunya adalah membaca! Apa pun bisa kau baca. Bahkan orang-orang yang berada di sekitarmu yang juga sedang menunggu datangnya kendaraan bisa kau baca. Dari gestur dan mimik mereka, bisa terbaca berbagai peristiwa. Dari sana kau akan temukan citraan demi citraan yang membawamu pada perjalanan spiritual tentang manusia, peristiwa, dan akibat dari hubungan antarkeduanya. Ya. Di sana ada dirimu, bahkan. Bukankah setiap yang dialami orang lain juga secara hakikat kau alami juga? Bila bukan tentang kebahagiaan, mungkin kesedihan, atau mungkin suasana di antara keduanya. Kalau bukan sedang jatuh cinta, bisa jadi sedang dilanda jatuh benci, atau jatuh-jatuh yang lainnya. Dan itu semua ada dalam tetanda yang tersirat dari yang kauberhasil baca. Manusia! Ya, kau sedang membaca manusia dari apa pun yang kau indra, bahkan saat kau membaca besi berkarat pada halte itu. Di sana ada kau yang memperhatikan dan ada sekian peterlibat atas munculnya sang karat. Tentu saja, bila tidak melakukan apa-apa, kau akan separti besi halte itu; dimakan karat lalu aus.
Saat kau (sedang) tidak bisa menulis adalah saat kau berada di halte itu. Kau sedang bersiap-siap untuk perjalanan berikutnya, kreativitas berikutnya, karya berikutnya. Lantas akan berapa lama kau menunggu datangnya kendaraan itu? tentu saja banyak faktor penentu. Dan kau hanya bagian dari semesta fana penungguan itu. Kau juga bagian dari noktah peristiwa yang terhubung satu sama lain serupa struktur kehidupan yang bisa jadi bila kau tak ada di situ, takakan ada jalinan kisah apa pun. Menunggulah! Membacalah! Sebelum perjalanan berikutnya. Sebelum menulis bab berikutnya.
Derwati, 1 Maret 2022