MENGGUGAH GUNDAH, MENGUNGGAH MADAH[1]
Oleh M. Irfan Hidayatullah
/1/
Menggugah
Puisi acapkali diperlukan untuk membangkitkan keterlenaan, keterpurukan, ketersesatan kebingungan, kebebalan, dan ke-an ke-an yang lain. Di dalamnya ada hikmah yang terjalin pada makna kata-kata yang ditemukan, ditimbang, dan dipilih. Kehikmahan makna kemudian menjadi sangat penting dan mendasar pada fungsi yang satu ini. Karena itu, hikmah manjadi satu titik tujuan dari sebuah ketergugahan.
Tentu saja kebangkitan yang diajarkan dan diajakkan puisi bukan kebangkitan positivistik, melainkan kebangkitan spiritual. Karena itu, “sekeras” apa pun artikulasi puisi yang dibuat ia sebenarnya adalah sehalus-halus cara untuk bangkit. Puisi adalah tindak verbal yang ditujukan ke akal pikiran dan lalu ke hati. Puisi mungkin adalah bagian dari sebuah revolusi, tapi revolusi dari dalam. Karena itu, fungsi gugah sebuah puisi adalah perangkat lunak dari sebuah kebangunan. Sebuah perang bisa dibakar oleh semangat kata-kata perintah dan doktrin, tapi ketahanan mental para pejuang hanya bisa dirasuki oleh puisi.
Puisi bahkan sering diidentikkan dengan posisi damai sebuah keadaan. Namun, ia bukan sekadar berindah-indah kata. Ia adalah senjata makna, senjata hikmah. Akrobat kata-kata dan metafora acak justru menjauhkannya dari hikmah. Mereka semacam gangguan suara yang memotong komunikasi. Mereka adalah sesuatu yang menghalangi “puisi” menjadi puisi. Mereka menghalangi makna sampai pada hikmahnya.
/2/
Gundah
Salah satu yang mendasar dari proses lahirnya puisi adalah kegundahan. Ia semacam titik pusat yang menggetarkan berbagai fenomena dalam radius tertentu. Semakin kuat daya getar pada titik tersebut semakin luas radius pengaruhnya. Karena itu, puisi besar sering dilahirkan dari peristiwa besar (kegundahan) sejarah. Namun, karena hakikat puisi adalah artikulasi jiwa, hal-hal besar ini berlaku pada berbagai tataran hingga tataran individual. Kegundahan individual inilah kemudian yang menjadikan puisi seseorang menjadi milik kegundahan bersama pada setiap masa.
Kegundahan sosial-budaya sebuah masyarakat sampai kegundahan personal hanya masalah dimensi saja. Keduanya bisa saling beririsan. Namun, yang justru menjadi hambatan tersampaikannya hikmah adalah saat kegundahan personal menghalangi kegundahan pada lapis selanjutnya. Acapkali, kegundahan personal menjadi cangkang yang terlalu kuat membungkus hikmah sosialnya. Jadinya puisi hanya dimengerti dan dinikmati oleh pembuatnya saja. Bahkan, hal inilah yang menjadikan sebuah “puisi” terhalang menjadi puisi.
Dari itu semua, yang diperlukan kemudian adalah kepekaan dan keekspresifan. Kepekaan adalah semacam pendeteksi titik masalah dari gundah; keekspresifan adalah sarana komunikasi (estetis) dari gundah yang sudah terpilih. Dan alat pendeteksi tersebut adalah pertanyaan. Semakin sering seseorang mengajukan tanya, semakin kegundahan berhasil dideteksi dan diikat oleh kata. Namun, langkah pertama tersebut akan jadi tinggal dan mengekal pada kegelisahan personal semata jika takdiiringi proses pengujaran. Proses inilah yang menjadi PR selanjutnya bagi seseorang yang berupaya menggugah gundah menjadi hikmah melalui puisi.
/3/
Mengunggah
Proses pengujaran menjadi sangat penting bila seseorang telah mengikat tanya dari gundah yang dimilikinya. Kata-kata yang mewakili kegundahan yang telah terdeteksi itu sebenarnya sudah ada pada jiwa setiap manusia. Hanya saja, taksemua individu mengunggah kegelisahannya dalam ekspresi sastra yang kemudian dinamakan puisi. Lebih jauh lagi, sebenarnya puisi sudah ada pada jiwa dan benak setiap individu, tetapi ia tidak diunggah baik secara lisan, tulisan, dan citraan visual. Simpulan ekstremnya adalah: semua orang adalah penyair, tapi tidak setiap orang mampu mengunggah puisinya kepada khalayak.
Proses mengunggah berarti menjadi hal krusial bagi proses kreatif berpuisi karena ia adalah tahap eksekusi kepenyairan seseorang. Dalam hal ini, bukti konkret jalinan kata dalam berbagai bentuknya menjadi semacam pembuktian bahwa renungannya memiliki estetika tersendiri. Saat seorang pendosa menjura dalam doa-doanya, kata-kata yang dipilih secara diam-diam dalam batin dan bisiknya adalah puisi. Begitu juga, saat seorang pemuja menghayati dan mengungkapkan keterpukauannya dalam sebuah bisik benak dan jiwa, ia akan, sedang, dan telah menjadi penyair. Hanya saja, permasalahan berikutnya muncul. Para penyair alami ini kehilangan estetika saat mengujarkannya pada dunia.
Proses keterputusan talenta kepenyairan terjadi karena dunia menutupi kemampuan spiritual mereka. Karena itu, untuk melahirkan atau membangkitkan kembali talenta alamiah tersebut perlu daya renung yang dalam untuk melahirkan daya pilih kata yang kuat sehingga muncul daya jelajah makna dalam mengujarkan dan memvisualkannya. Pada titik inilah diperlukannya wawasan dan latihan. Wawasan akan mengantarkannya pada bentuk-bentuk konvensi kepuisian dan latihan akan mengantarkannya pada kemampuan menangkap puisi yang telah laten hidup dalam dirinya.
/4/
Madah
Kegundahan yang menjadi subjek pertama sebuah proses berpuisi pada praktiknya tidak selalu melahirkan artikulasi murung dan hitam. Kegundahan adalah semacam pemicu dari pertanyaan dan renungan. Setelah itu, ia bisa diwujudkan pada berbagai jenis unggahan. Salah satunya adalah yang secara diametral berseberangan; kegundahan bisa menghadirkan puji-pujian. Alih-alih menghilangkan inti kegundahan , puji-pujian justru melesapkan kegundahan pada titik nadir kelemahan individual penyair.
Saat berbagai gempuran permasalahan membenamkannya pada sebuah doa yang pisau, ia justru merasa pada titik nol kekuatan. Di situlah madah lahir dan mewakili secara metaforis kegundahan yang ada. Puji-pujian adalah artikulasi sakral ketakberdayaan manusia yang kerenanya ia berserah pada Sang Mahasegala. Begitupun saat seseorang hadir di tengah hiruk pikuk kota dan kegelisahan manusia di dalamnya, alam bisa dipuja sebagai opisisi paradigmatis realitas yang ada. Ketika pada sebuah ruang peristiwa manusia telah kehilangan prinsip dan menjadi robot syahwat mereka sendiri, madah tentang Rasulullah SAW menjadi semacam difleksi yang diperlukan.
Menggugah gundah mengunggah madah adalah salah satu cara untuk mengembalikan kita pada fitrah kepenyairan. Diksi-diksi dan jalinan struktur pengujaran akhirnya menjadi semacam sarana yang perlu digali dari setiap individu dalam rangka mengikat hikmah. Dan bukankah hikmah adalah tujuan dan cara kita dalam berdakwah? Melalui tebaran-tebaran hikmah inilah kebaikan akan menjadi parameter realitas yang semakin banal dan regas. Wallahu’alam bis shawab.
Bandung, 4 November 2017
[1] Dipresentasikan dalam Workshop Kepenulisan Puisi dalam rangka Munas IV Forum Lingkar Pena, 4 November 2017
Leave a Reply