Saat puisi terlepas dari makna, ia akan menempel pada dua hal; anggapan bahwa bahasa hanya alat dan prasangka bahwa keindahan adalah capaian tertinggi. Kedua hal tersebut akan selalu ada dan merasuk pada jiwa penyair bila ia menulis puisi atas desakan hasrat semata. Ya, hasrat untuk berindah-indah dan membayangkan akan adanya tanggapan wah dan decak kagum pembaca.
Memang menulis puisi perlu skill kebahasaan tertentu, tapi itu akan didapatkan dari upaya-upaya sunyi pembacaan makna. Upaya membaca narasi dan jiwa dari puisi-puisi besar sebagai pesan semesta bukan permainan bahasa. Bahasa indah dan pesan luhung itu tak terpisahkan adanya. Saat seorang Chairil mencipta puisi Doa, pembaca disodori kedalaman makna bukan akrobat kata-kata.
Upaya sunyi lain adalah membaca tetanda dan sekaligus merenungkannya. Saat seorang manusia mengalami rasa sakit hati karena sebuah peristiwa lalu ia menarik napas dan mengeja apa yang terjadi kemudian ia endapkan dalam sebuah renungan, kata-kata yang kemudian terungkap kemungkinan besar akan menjadi puisi. Tentu saja ia bukan penyair. Apalagi jika yang melakukannya seorang penyair. Endapan peristiwa dan ruang sunyi perenungan akan menuntunnya berekspresi dan berimpresi.
Jadi, di mana letak bahasa dan keindahan? Keduanya hadir bersamaan. Keduanya adalah sesuatu yang kemudian disebut makna. Mereka bukan alat dan tujuan. Mereka adalah makna itu sendiri yang kadang akan sulit untuk dipilah-pilah. Apakah puisi “Tuhan Kita Begitu Dekat” karya Abdul Hadi WM ini adalah permainan kata semata? Atau ia hanya keindahan rangkaian irama? Tentu saja tidak. Ia adalah makna dari sebuah kepasrahan dan keagungan Tuhan.
Tuhan, Kita Begitu Dekat
Tuhan
Kita begitu dekat
Sebagai api dengan panas
Aku panas dalam apimu
Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti kain dengan kapas
Aku kapas dalam kainmu
Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti angin dengan arahnya
Kita begitu dekat
Dalam gelap
Kini nyala
Pada lampu padammu
Ya, menulis puisi bisa jadi sangat sulit bila segala hal dipandang hanya sebagai teknik dan komponen semata. Namun, bisa hadir begitu saja bila ia bagian dari gerak semesta yang melibatkan kita. Masalah apakah kita kemudian layak disebut penyair atau bukan tak penting lagi karenanya.
Derwati, 21 Januari 2022
Leave a Reply