#1
Akhir bulan puasa adalah detik-detik mudik, bagi yang mau dan mampu tentu saja. Dan, bagiku mudik tahun ini sangatlah berbeda. Kali ini ada kesadaran semesta yang mengantarkanku pada refleksi kehidupanku sendiri. Tepatnya refleksi atas sebuah takdir. Dan semua adalah makna yang sering kuabaikan hanya karena permasalahan sehari-hari kehidupan dan nafsu tentu saja.
Aku ternyata dilahirkan untuk mengenal hulu dan hilir dengan sangat jelas melalui keberadaan gunung dan laut. Dan tahun ini aku adalah hilir; tahun kemarin aku adalah hulu. Aku yang hilir saat ini sungguh sangat merasa ujung dari sebuah keberadaan ilahiah yang sangat sumber sangat gunung. Aku sedang berada pada kerendahan posisi sebagai dasar dari segala yang suci yang dekat langit. Dan, tentu saja, di sini ada euforia kehiliran tempat segala sampah menumpuk terbawa aliran sungai dan aliran manusia yang menyungai kemudian juga menyampah.
Aku dibesarkan oleh hilir oleh pantai oleh ujung dan ceruk dasar yang tak terukur nun jauh di samudera sana. Aku terbiasa bermain gelombang, berenang, dan sesekali tenggelam tersedak air asin hingga sengak. Aku juga sering menjadikan cakrawala sebagai puisi. Pada pantai itu aku duduk dan merenung membuka pintu bagi kata-kata yang bersemayam dan terhambat deru kota. Memang, aku tidak tinggal menetap di kampung pantai itu, tapi setiap liburku dan tempat pulangku adalah ke dan di sana. Selain itu, kampung ini adalah ruang tempat nenekku lahir dan dibesarkan, latar tempat keluarga besar nenekku beranakpinak dan menguasai kota sebelum menjadi daerah pariwisata dan para petualang ekonomi menjadikannya artifisial dan duniawi. Tentu saja sekarang keluarga besar nenekku tergeser dan menjadi minoritas di antara hotel-hotel yang menjamur.
Pada lebaran kali ini, salat Idku tidak seperti salat-salat id sebelumnya karena aku digumuli pertanyaan; mengapa tidak dari dulu ada kesadaran latar yang membuatku merasa diberkahi ini? Dulu keutamaan dari-Nya atas hulu dan hilirku ini kurasakan hanya sebuah siksaan karena jauh jarak yang harus kutempuh dari ujung ke ujung atau sebaliknya aku merasa bersyukur karena alam yang kufoto dan kujadikan puisi. Tentu saja, syukurku juga atas tualangan yang selalu teralami saat harus mudik dengan motor, kereta, mobil sewaan, dan akhirnya mobil sendiri. Perjalanan yang selalu kusyukuri karena berat ringannya, jauh padatnya, cape dan istirahatnya. Perjalanan yang selalu menyisakan sesuatu dalam sejarah keluarga kecilku.
Begitulah setelah aku yang hilir ini menarik napas dan berpikir, tidak hanya hawa laut yang terhirup tetapi juga kemenerimaanku atas takdir luar biasa ini. Orang lain berbondong-bondong ke hilir untuk mendapatkan vitamin sea, sementara aku memandang keterbentangan kuasa-Nya itu sebagai keseharian. Hilir yang orang lain jadikan hiburan dan pilihan, bagiku adalah salah satu keharusan untuk pulang dan untuk mudik. Bukankah itu anugerah karena mudikku begitu indah sekaligus aku tidak akan terpukau dan terlena oleh keindahan yang disanjung-sanjung orang lain. Apakah keindahan saat hakikatnya tidak menyampaikanmu pada kesyukuran? mungkin itu simpulannya.
Hilirku adalah Pangandaran, tempat ibuku menunggu anak-anaknya pulang. Sesungguhnya ibu bukan sosok yang kesepian. Ia hanya ingin anaknya mendapatkan pengukuhan kesadaran seperti yang kali ini kutuliskan.
#2
Jodohku adalah hulu. Di sana dekat dengan ketinggian Lawu yang 3265 MDPL. Jauh sekali dari kerendahan posisi lautku. Mudik tahun lalu aku ke sana dan melihat hamparan bumi-Nya di lembah dan kota yang mengecil dan ringkih. Sementara tahun ini, aku melihat hamparan horizontal dan segala yang vertikal. Tidakkah di situlah kebersatuan? Yang vertikal di hulu begitu dekat dan takada yang horizontal langsung, semua menaik atau menurun. Hulu adalah kedinamisan posisi.
Aku yang hilir saat berada di hulu merasa sedang dekat dengan sumber dekat dengan langit. Namun, di sana ada hijab visual berupa pemandangan pegunungan, lembah, pepohonan, dan danau yang begitu menakjubkan. Selain itu juga ada hijab kenyamanan udara. Saat di hilir udara begitu panas dan sumpek, di hulu sejuk dan bahkan dingin menggigit. Dingin yang kemudian diredam dan menjadi nyaman dengan kain-kain tebal bernama jaket dan syal. Semua itu acapkali menjadi hijab atas hakikat langit yang sudah begitu dekat. Langit di sana akhirnya artifisial yang kemudian kupindahkan pada memori hpku sebagai foto.
Keterpukauan dan kenyamanan aku hilir sebenarnya dirasakan oleh banyak sekali orang. Terbukti dengan berbondong-bondongnya wisatawan bermain di sudut-sudut puncak Lawu. Dan saat kupikir lagi, di hilir pun demikian. Pantai, laut, lanskap horizontal, dan warna alam yang memukau telah menjadikan manusia tidak peduli dengan panas dan gerah. Mereka datang dari berbagai tempat dan berenang dalam euforia yang di luar nalar. Keindahan telah tak hadir saat ribuan manusia berdesakan di pantai Pangandaran saat lebaran. Pada titik ini hilirku sama dengan hulu yang jadi jodohku. Keindahan alam telah menjadi hijab bagi makna hulu dan hilir yang sejati.
Hulu jodohku adalah sebuah kampung yang bernama Selopanggung di lembah Lawu. Dari depan rumah mertuaku terlihat sesosok pasak bumi yang kokoh berdiri. Tidak sampai 30 menit kami menuju puncak itu dengan kendaraan bermotor tentu saja. Puncak itu bahkan tempat para penghuni kabupaten Magetan menghabiskan waktu liburan mereka atau sekadar jalan-jalan keseharian. Dari atas sana seharusnya berbagai kesadaran hulu tertanamkan. Dan aku dijodohkan dengan hulu yang tinggi dan dekat langit ini. Namun, baru kali ini aku menuliskan segala keberjodohan kami.
Demikianlah, lebaran tahun ini aku tidak ke hulu, tapi ke hilir. Dan pada perjalanan hilirku kali ini aku seolah dimudikkan pada kebermaknaan. Segala yang rutin kujalani setiap lebaran selama 24 tahun berkeluarga tetiba seperti dihentikan. Aku digumuli pertanyaan yang menghancurkan setiap kebanalan liburan lebaran. Ya, perjalanan kali ini bukan sekadar mudik. Aku hilir dan dia hulu menjadi nukleus dari pusaran kehidupan keluarga kecilku. Hilir dan huluku yang sakral sekaligus artifisial menuntutku menghubungkannya dalam ruang kesyukuran.
Bandung, 13-15 April 2024
Leave a Reply