Sama denganmu aku pun berada di tengah-tengah wabah. Tentang wabah yang telah mewabah ini adalah sebuah tatanan baru yang mengubah Identitas lalu juga mengubah perilaku. Seseorang yang selama ini di luar dan masuk pada kotak masing2 pada ruang aktivitas masing-masing kini menjadi di dalam dan membuat ruang baru.
Sama denganmu, aku pun berusaha membuat ruang baruku di dalam sini. Di dalam rumahku, di dalam kamar (kerjaku), di dalam jiwaku. Dan pada setiap perubahan ini, terdapat masa-masa adaptasi yang juga mengubah diri mereka. Adaptasi adalah sebentuk aktivisme yang juga subjek perubahan. Sampai akhirnya kemudian banyak orang menyebutnya dengan new normal. Ya, sama juga denganmu, sang Adaptasi menjadi makhluk sekaligus keadaan yang dibentuk oleh ruang pandemi.
Ruang wabah paling bawah adalah aktivitas sehari-hari setiap subjek yang diubah, mengubah, dan lalu berubah. Banyak di antara mereka, termasuk aku yang gegar pada titik tertentu padahal setelah ditemukan ruang dan identitas baru itu. Rupanya ada ruang bawah sadar yang protes atas perubahan normal itu. Ia semacam antivirus yang bereaksi pada infiltrasi budaya baru yang bisa jadi metafora dari Korona itu sendiri. Jadi, kejenuhan itu muncul semacam bersin-bersin kultural yang sebenarnya mekanisme pemertahanan alami diri. Penuhnya mal-mal dan jalanan itu adalah bersin kultural. Namun, seharusnya bersin ini bersifat sporadis, spontan. Setelah itu, kesadaran bahwa sebuah bahaya harus ditangani harusnya segera muncul. Dan itu terjadi juga, ruang wabah paling bawah ini gegar juga dan mencoba mencari the new normalnya masing-masing, terutama setelah terbukti adanya korban.
Sama denganmu, aku pun mengalami perubahan identitas juga, mengalami gegar wabah juga, mengalami bersin kultural juga. Selama bulan Ramadan, semua itu terjadi. Hanya saja, aku biarkan diri ini demam-demam di ruang baru. Aku merasakan inkubasi Identitas baru itu menggeliat di dalam rumah, ruang kerja, dan jiwa. Demam itu kutahan hingga kadang aku meracau marah-marah terhadap keadaan. Untungnya, ada obat manjur sepanjang Ramadan. Dialah bacaan Al Quran. Dialah lapar dan haus. Dialah tarawih dan ibadah rawatib berjamaah. Dialah doa-doa dan tebaran nasihat. Dialah keluarga, Yang senasib seperjuangan dalam menahan demam akibat terbentuknya Identitas baru di ruang yang itu-itu saja: jiwaku.
Senin, 2 Syawal 1441/ 25 Mei 2020
Leave a Reply