Risalah Wabah #5: Kesadaran Artifisial

Kesadaran Artifisial

Dulu. Dulu, ya dulu sebelum wabah ini terjadi, saya sudah dianjurkan oleh istri untuk mencuci tangan dengan ideal. Konon, katanya enam langkah cuci tangan yang sekarang telah mulai menjadi kebiasaan itu adalah hasil dari uji coba ilmiah. Virus dan kuman akan efektif tertumpas oleh cuci tangan gaya seperti itu. Dan, dulu itu, dengan logika acak dan ego memuncak, saya menolak tesis tersebut. Bukankah, bila mencuci tangan dengan acak dan merata juga akan membunuh kuman dan virus dengan efektif? Tentu saja istri saya tetap ngotot dengan cara mencuci tangan seperti itu, dibantu juga oleh anak saya yang seorang mahasiswa kedokteran. Namun, saya tetap bergeming. Saya mencuci tangan dengan acak namun merata dan agak lama.


Suatu hari, masih jauh-jauh tahun sebelum pageblug itu datang ke Indonesia, saya menyaksikan Milad Kampus Politeknik Al Islam Bandung. Saya memang mengajar beberapa mata kuliah di sana. Dan saat itu saya menjadi juri lomba kreativitas seni antarangkatan. Nah, salah satu kelompok dari prodi Radiologi melakukan senam langkah mencuci tangan yang efektif itu. Saya hanya tersenyum dan geleng kepala. Begitu masif kurikulum pada jurusan kesehatan menerapkan itu, padahal cara mencuci tangan dengan sabun kan banyak caranya dan bisa lebih efektif juga. Saya tetep keukeuh.


Terakhir, menjelang virus Korona menyerang tanah air, saat para pejabat berseloroh tentang ketidakmungkinan virus tersebut mampir ke negeri ini, kami (DKM Riyadhul Jannah) mengadakan bincang kesehatan bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran Unpad. Pembahasan yang diangkat adalah tentang strategi meningkatkan imunitas terhadap serangan virus. Yang datang bukan orang sembarang, mereka adalah dosen ahli virologi. Dan saya sebagai moderator kembali disodori enam langkah cara mencuci tangan dan praktik bersama sambil berdiri. Dan saya mulai ragu dengan logika saya sendiri. Salahkah pendapat saya? Betulkah riset tentang cuci tangan tersebut?


Lalu? Ya, kau pasti bisa menebaknya. Kini, setelah dari mana pun dan di mana pun, saat memungkinkan, saya selalu mencuci tangan dengan gaya seperti itu. Lucunya, saya disodori sebuah scene mencuci tangan seperti itu pada sebuah drakor yang sedang saya tonton streaming pada saat karantina mandiri. Mereka rupanya, tetap menyelipkan edukasi menjaga diri dari serangan virus, padahal di filmnya tidak sedang bercerita masalah tersebut. Kini, saya hanya bisa merenung tentang diri saya. Bukan tentang orang lain. Betapa, anggapan tertentu bisa begitu salah hanya karena mengandalkan logika subjektif dan kebiasaan. Ya, ini hubungannya dengan kepercayaan pada riset ilmiah.


Tentu saja percaya pada kebiasaan bisa menjadikan seseorang yakin melakukan sesuatu. Kebiasaan memakai masker di Jepang misalnya membuat warganya mengikuti karena memang umumnya seperti itu, tanpa tendensi ilmiah. Kebiasan kemudian akan menjadi tradisi, terus menjadi budaya. Di sinilah letaknya menurut saya. Edukasi bisa dilakukan dengan cara nonteori dan terus menerus, bahkan melalui media-media populer sehingga menjadi pengetahuan bersama. Tanpa harus dijejali atau diyakinkan dengan teori-teori ilmiah hasil riset sebuah kebiasaan baik bisa menyebar dan dilakukan bersama. Jangan sampai, kebiasaan baik tersebut dilakukan karena terpaksa oleh sebuah kondisi darurat. Karena virus sudah ada di sekitar kita dan korban terlihat dangan jelas berjatuhan, bahkan angkanya membuat ngeri, bahkan lagi wilayah penyebarannya sudah semakin dekat, kita baru buru-buru membiasakan diri melakukan hasil kajian ilmiah tersebut.


Ya, yang terpenting dari yang kita bicarakan di sini adalah literasi informasi dan edukasi kebiasaan ideal yang menyasar bawah sadar bukan kesadaran artifisial manusia. Covid-19 mungkin sudah di depan mata, tetapi saat memang perilaku warga sudah terbiasa dengan yang higienis kondisinya akan lain lagi. Kondisinya akan berbeda dengan situasi penuh gegar karena kegegaran dapat menimbulkan kenekadan. Penolakan melakukan protokol kesehatan saat pandemi adalah buktinya. Penentangan anjuran memakai masker, keberadaan virus dan hubungannya dengan konspirasi global menjadi isu utama, sampai lelucon-lelucon tentang segala fenomena korona. Ngeri memang, apalagi saat korban terus berjatuhan. Mungkin karena korbannya bukan kita sehingga menganggap bahwa segala yang terjadi fiktif belaka. Lalu testimoni para tenaga kesehatan, para penggali kuburan, dan korban saat diisolasi dan sebelum meninggal itu apa? Sandiwara?

Bandung, 8 Oktober 2020


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *