Mawar Warna-Warni
Oleh M. Irfan Hidayatullah
Halaman rumah itu penuh mawar. Warna-warni. Terlihat sangat segar walau terik sinar matahari, bila siang.Setiap larik sinarnya seperti dihimpun oleh mawar-mawar itu kemudian dipantulkan pada setiap yang melihat menjadi semacam keindahan tak terkirakan. Semacam pelangi hadir di sana. Belum lagi jika angin iseng menyentuhnya. Tangkai-tangkainya menari. Satu dua helai daun gugur. Halaman rumah itu pun semakin bercahaya karena berbaur dengan warna lantai kramik putih bertekstur.
Sebenarnya tidak hanya mawar yang ada di halaman rumah itu, tapi karena mawar yang paling banyak, bunga-bunga lain seperti tersisihkan. Bugenvil juga ada, krissan, Anggrek, beringin putih, dan ki hujan. Keberadaan mereka tersaput, tapi tetap memberi warna. Keindahan halaman rumah itu memang utuh apalagi dipadukan dengan warna dinding luar yang merah bata dan kusen-kusennya putih tulang. Pokoknya setiap orang yang lewat akan memperlambat jalannya jika lewat rumah itu.
Rumah itu menghadap timur. Karena itu, bila pagi menjelma cahaya matahari seperti tumpah di sana. Dan pada saat seperti itulah sang pemilik rumah menyiram mawar-mawar itu. Lalu mawar itu seperti berterima kasih dengan mengangkat tangkainya menantang hari dengan memancarkan indah warnanya. Sekali lagi orang yang lewat akan memperlambat jalannya pada momen seperti itu. Namun, tidak untuk Gani. Ia bahkan akan menyeret istrinya bila kebetulan berlambat-lambat di depan rumah itu. Di depan mawar warna-warni itu.
Keindahan yang dipancarkan mawar-mawar itu bagi Gani adalah semacam momok yang sangat menakutkan semacam teror bagi diri dan keluarganya semacam detak-detak bom yang akan meluluhlantakkan.
“Kau bukan melihat mawar-mawar itu, kan?” tanya gani pada istrinya.
“Saya melihat mawar-mawar itu, sungguh.”
“Aaah, bohong besar. Kau harus jujur padaku?”
“Akang. Kenapa Akang tiba-tiba jadi marah?”
“Karena kau bukan melihat mawar-mawar itu.”
“Saya melihat mawar-mawar itu seperti Ceu Eni melihatnya seperti si Ida juga melihatnya, bahkan seperti Akang melihatnya.”
“Aku tidak melihat mawar-mawar itu. Aku melihat hantu di sana.”
“Tuh, kan. Berarti Akang yang tidak melihat mawar-mawar itu, bukan saya.”
“Ya, tapi Akang yakin kamu juga melihat apa yang Akang lihat. Kamu tahu Ceu Eni dan si Ida tidak hanya melihat mawar itu.”
“Akang tahu dari mana?”
“Mereka bilang ke suami mereka. Suami mereka bilang ke Akang. Mereka tidak hanya melihat mawar-mawar itu. Mereka bahkan tidak mau melihat mawar-mawar itu.”
“Lalu apa yang mereka lihat? Dan apa yang Akang lihat?”
“Hantu, teroris, bom.”
***
Lalu menyebarlah gosip bahwa mawar warna-warni itu adalah sebenarnya hantu, teroris, dan bom. Gosip itu begitu cepat menyebar seperti wabah penyakit. Dan semua terjangkit. Semua sakit. Semua mengerang. Semua meradang. Lalu gang itu pun macet oleh tubuh dan jiwa penasaran. Mereka berkumpul di depan rumah Gani. Mereka semua adalah para suami. Suami dengan wajah penuh kerut dan tanya. Sementara, para istri sembunyi di kamar-kamar mereka sambil mendekap anak-anak mereka. Mereka takut dengan sesuatu yang bakal terjadi. Mereka bahkan berpikir harus pergi karena yang menyebabkan suami-suami mereka seperti itu adalah mereka, tapi mereka tak kuasa melawan ketentuan. Mereka adalah istri, mereka harus ikut suami, mereka harus menjaga anak, mereka harus meredam diri. Akhirnya hantu itu betul-betul menampak di mata mereka. Teror itu sangat nyata. Bom itu tengah menghitung waktu.
“Bagaimana kalau kita cabuti mawar-mawar itu?”
“Setujuuu… kita cabutin aja.”
“Bagaimana kalau kita bakar mawar-mawar itu?”
“Yaaa… kita harus bakar mawar-mawar itu.”
“Bagaimana kalau mobil yang dekat mawar-mawar itu kita bakar juga?”
“Sepakat … kita bakar juga mobil sedan itu.”
“Bagaimana kalau sekalian saja dengan rumahnya.”
“Wah…betul betul kita harus habiskan semuanya.”
“Ayo kita berangkat. Bawa senjata yang kalian miliki. Parang, pacul, linggis, minyak tanah, korek api, batu, dan apa saja.”
“Ayoo… kita usir hantu itu, kita ganyang teroris itu, kita matikan bom itu.”
Bagai air bah mereka bergerak menyusuri gang sempit yang di kanan kirinya bergelantungan cucian basah yang lalat-lalat merubungi tong-tong sampah di depan setiap rumah yang cat-cat temboknya terkelupas seperti sebuah luka.
***
Sambil menyirami mawar-mawar berseri sang istri bertanya pada suaminya.
“Pi, kapan kita akan mengundang tetangga untuk syukuran rumah baru kita ini?”
Sang suami yang sedang mengelap kaca sedannya menjawab.
“Ah, kayaknya Papi sukar meluangkan waktu. Harusnya Mami yang merencanakan acara itu, tapi apa penting, Mi?”
“Ia, sih Mami pikir juga kita ngak usah repot-repot mengeluarkan biaya ini itu. Mending buat beli lukisan ya, Pi. Ruang makan kita kan belum di kasih lukisan.”
“Papi sepakat, Mi.”
Mentari bersinar lembut ke arah rumah itu. Mawar warna-warni tak jemu mereka pandangi. Keindahan yang sempurna. Namun, mereka tidak tahu apa yang bakal terjadi.
Depok, 5 Ramadan 1425 H.
Leave a Reply